Sebelum baca jangan lupa vote, komen, and share! Selamat membaca!
"Entahlah aku tidak ingat," ujar Yama.
Orang bilang persahabatan itu selalu tulus, tak ada celah untuk penghianatan dan rasa sakit diantara keduanya. Tapi tak ada manusia yang bisa tetap baik selamanya, tak ada manusia yang tidak hidup di balik topeng.
Semua pendaki sudah mulai bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju pos dua. Baru saja matahari bersinar tapi awan sudah menutupinya lagi, membuat teduh bumi yang terbakar dengan kepalsuan di balik topeng yang setiap hari dikenakan. Terdengar suara guntur bersahutan mengamuk diatas sana, mungkin sebentar lagi hujan akan turun lebih deras dari sebelumnya.
"Kita harus lanjut tracking supaya gak kehujanan sebelum sampai pelawangan." Sapta yang memberi usul. Yang lain juga setuju karena ngeri mendengar guntur yang kian bersemangat. Sebelumnya para pendaki sengaja mengenakan jas hujan untuk jaga-jaga bila sewaktu-waktu hujan turun. Karena tak ada lagi tempat untuk berteduh, tak ada pohon yang bisa digunakan sebagai tempat bernaung.
Langkah kaki dengan tekad kuat dan semangat menggebu kembali menapaki bumi pertiwi yang kini telah basah diguyur hujan. Sapta dan Nil berjalan paling depan, Nisa dan Zakira di tengah, Yama dan Ranu paling belakang. Sejauh ini masih tetap sama seperti sebelumnya, belum banyak yang bisa dikeluhkan. Sawah-sawah milik warga Desa Sembalun yang baru saja ditanami padi tampak girang menyambut hujan dan diantara keramaian rinjani, tubuh yang paling sunyi banyak berbisik dalam hati. Ranu, si pemilik hati paling ramai itu bertanya dalam hatinya, "Kenapa hujan turun? Untuk siapa? Dan apa yang ia tangisi."
Di depan sana Nil dan Sapta tengah asik berbincang, lebih tepatnya Nil yang bertanya dan Sapta yang menjawab, itu sudah bisa dipastikan karena sejak memulai perjalan Sang pemandu sibuk menunjuk-nunjuk satu dua objek. Nisa dan Zakira mungkin juga sedang berbincang, sayup-sayup yang terdengar dari percakapan mereka hanya, "Dimana? Kenapa? Benarkah, kapan?" diantara ramainya percakapan itu hanya Yama dan Ranu yang saling mendiamkan.
Tanah yang mereka pijak, sabana yang mereka lihat, serta udara yang mereka hirup menjadi saksi betapa buruk hubungan diantara keduanya. Tubuh-tubuh dengan rasa yang berbeda itu terus melaju menuju pelawangan. Hujan menghujam kian deras membuat jalan setapak yang terbuat dari tanah menjadi lincin, di depan beberapa pendaki sudah menjadi korban dari licinnya tanah Sembalun. Air yang menggenang membuat sepatu para pendaki basah, guntur makin sering terdengar kali ini disertai petir yang kadang menyambar.
"Mas Ranu!" Sapta berteriak, berusaha mengalahkan derasnya suara hujan.
"Kenapa Bang?"
"Nanti kita neduh dulu di pos dua." Ranu tak terlalu jelas mendengar apa yang Sang pemandu katakan, tapi ia mengangguk sebagai jawaban. "Emang lo denger apa yang cowok kupluk itu bilang?" tanya Yama.
"Gatau. Gue gak denger." keduanya terus berbisik sepanjang perjalanan. Carrier seberat lima kilogram basah terkena air yang merembes dari jas hujan membuat pundak semakin lelah untuk terus menahan bobotnya.
"Kenapa lo nyusul gue ke Lombok?" tanya Ranu. Yama terdiam beberapa saat untuk selanjutnya menjawab, "Kita pernah kehilangan seseorang yang amat kita cintai, sahabat kita, dan gue juga gak mau kehilangan sahabat gue untuk yang kedua kalinya."
"Lo nyesel karena waktu itu gak berbuat apa-apa buat nolongin dia, iyakan?"
"Itu kecelakaan Ran."
"Iya kecelakaan, tapi lo penyebabnya." Ranu kian mempercepat langkahnya berusaha menyejajari Nil dan Sapta. "Hei, cowok itu di belakang!" Zakira dan Nisa protes, karena Ranu sembarangan menyerobot barisan.
Yama masih tak tahu harus bagaimana. Dulu itu murni kecelakaan, ia tak tahu hal itu akan terjadi. Kini diantara riuhnya hujan pagi itu Yama adalah orang kedua yang memiliki jiwa yang sepi dan hati yang ramai meski tak seramai milik Ranu.
"Eh batu, ngapain jalan bareng kita? Sono belakang!" Ucap Nil, yang kini mengalungkan tangannya di bahu Sang pemandu.
"Ciee, udah besti-an nih?" si pria batu terus menggoda Nil, karena ia tahu pria itu mudah kesal. "Iyalah, gue-mah social butterfly. Gak kaya lo, batu berlumut."
"Sebelum kenal sama lo, duluan sama gue kali. Iyakan Bang?" Sang pemandu hanya mengangguk canggung. Ia hanya seorang pemandu tapi entah kenapa harus terlibat diantara orang-orang ini. Di belakang sana satu lagi pemuda sunyi, tengah menatap punggung ketiganya. "Tak ada yang bisa disembunyikan lebih lama apalagi darimu. Kata mana yang harus kumulai untuk percakapan pertama kita setelah gadis yang sama-sama kita cintai meninggal? Ran, aku juga kecewa, marah, benci, terpukul tapi aku tak bisa menunjukannya. Topeng di wajahku terlalu tebal untuk membuka setiap peristiwa pilu, khususnya tentang kematian gadis itu."
#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Puncak 3726 Mdpl
RomanceBerawal dari Ranu yang mendaki gunung rinjani untuk melukis danau segara anak, ditengah perjalanan ia terpisah dari rombongannya dan malah tidak sengaja bergabung dengan rombongan lain. Tak disangka ia malah bertemu dengan seorang wanita yang sangat...