Namanya Zakira?

59 7 2
                                    

Sebelum baca jangan lupa vote, komen, and share! Selamat membaca!

Ranu masih terpukau dengan keindahan Desa Senaru, Hingga tak menyadari bahwa Sapta sudah berdiri dibelakangnya.

"Mas Ranu!" pemuda bertubuh kurus itu terlonjak kaget saat jemari Sapta menyentuh bahunya.

"Bang Sapta, bikin kaget aja."

"Eh maaf Mas, saya cuma mau kasih tahu kita lanjut perjalanan sekarang, takut kemalaman."

"Oh iya Bang, ayo. Saya juga sudah selesai."

"Yasudah, saya tunggu di mobil." ujar Sapta sambil pergi meninggalkan Ranu yang masih memegangi dadanya. Beberapa mobil lain juga sudah mulai berangkat, kembali menempuh perjalanan panjang menuju tempat tujuan berikutnya. Lagi, saat Ranu membuka pintu minibus dari arah berlawan sorang gadis berambut pendek melambaikan tangan padanya. wajahnya tertutup masker, mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan celana kulot berwarna kream.

"Zakira, ayo!" salah satu rekannya berseru. Jadi namanya Zakira. Sekali lagi gadis berambut pendek itu melambai, kali ini matanya menyipit mungkin karena dia sedang tersenyum. Tak lama ia memasukan seluruh tubuhnya kedalam SUV berwarna merah. Aneh sekali, ini pertama kalinya ada seorang gadis yang menyapanya lebih dulu, gadis yang bahkan tidak dikenalnya.

"Cie Mas Ranu, belum sampai rinjani malah sudah dapat gebetan."

"Cuma kebetulan kali."

"Masa kebetulan, sampai dua kali."

"Mana saya tahu. Kalau suka, buat Bang Sapta saja."

"Heh, saya mau Mas dianya yang gak mau." balas Sapta sambil terkekeh.

"Udah jalanin aja mobilnya, katanya takut kemalaman."

"Siap Mas!"

Minibus kembali melaju dari Desa Senaru, anak-anak yang tadi bermain gasing dengannya berlari mengejar mobil yang Ranu naiki. "Dadah! Dah!" anak-anak Desa Senaru melambaikan tangan, bergantian mengucapkan selamat tinggal sambil berlari terus mengejar. Sebagai jawaban Ranu melambaikan tangannya. Anak-anak itu masih mengikuti sampai akhirnya mereka berhenti ketika minibus keluar dari gerbang desa.

***

Baru setengah jalan, tiba-tiba Sapta menghentikan minibus.

"Loh, ada apa Bang Sapta?"

"Ponsel saya bunyi, takutnya penting Mas."

"Oh yaudah, angkat saja Bang." setelah mendapat izin dari Ranu, Sapta keluar dari minibus. Ia berbicara melalui telepon sesekali menoleh memastikan pria yang duduk di dalam mobilnya tidak mendengar percakapan. Dengan siapa ia bicara? Sepertinya penting, raut wajahnya berubah serius.

"Kenapa Bang?" Ranu memberanikan diri untuk bertanya, karena sebenarnya ia cukup penasaran dengan apa yang Sapta bicarakan dengan lawan bicaranya. Tak lama, pemuda berambut ikal itu kembali memasuki mobil.

"Anu... Mas Ranu sebelumnya, belum pernah mendaki ya?" tubuh kurus itu bergetar, lidahnya kelu, hawa panas seketika menyeruak memenuhi seisi minibus. Dia tak mampu berucap sepatah katapun, apa yang harus dikatakan? Benar adanya bahwa dia tak pernah mendaki, apalagi sampai 3.726 meter. Tapi jika ia berterus-terang kemungkinan besar perjalanan akan langsung di batalkan. Ranu memutuskan untuk menjawab, "Siapa yang ngasih tahu?"

Pemuda dengan kupluk abu-abu itu diam, kini gilirannya yang membatu. Haruskah iya beri tahu? "Anu..."

"Siapa? Siapa orangnya?" tanya Ranu tak sabaran.

"Kalau saya gak salah, namanya Yama." benar dugaan Ranu, pasti dia orangnya.

"Saya minta, Bang Sapta gak perlu peduliin dia. Tugas Bang Sapta cuma lanjutin perjalanan, antar saya sampai puncak sampai titik 3.726 meter diatas permukaan laut." Sapta diam sejenak, memikirkan jalan keluar terbaik.

"Dengan satu syarat!" balas Sapta.

"Apa?"

"Kita bisa lanjutin perjalanan, tapi gak lewat Torean." Ranu terbelalak saat mendengar jawaban Sapta sang pemandu.

"kenapa?" tanyanya datar.

"Pendakian ini terlalu beresiko buat Mas Ranu, apalagi ini pertama kalinya. Selain itu, kalau kita naik lewat jalur Torean butuh waktu sekitar empat belas jam untuk sampai di segara anak."

"Dan.. Mas Ranu punya asma." benar-benar tidak bisa di percaya, si bodoh Yama itu membocorkan semuanya pada sang pemandu.

"Apa lagi yang kamu tahu?"

"Hanya itu, tapi kenapa harus dirahasiakan? Saya adalah pemandu Mas Ranu, kenapa tidak berterus-terang? Mas gak percaya sama saya?"

"Oke! Betul saya rahasiakan, betul saya penderita asma. Lalu apa? Apa lagi yang kamu mau dengar?" ujar Ranu berapi-api.

"Saya gak bermaksud menyinggung Mas, saya cuma takut kalau...,"

"Kamu takut saya mati?"

"Bukan begitu maksud saya,"

"Sudah, saya tidak butuh dikasihani. Lanjutkan saja perjalanannya."

"Nanti lewat jalur mana?" ucap Ranu lirih.

"Lewat Sembalun Mas, tapi turunnya tetap lewat Torean." dengan pasrah Ranu akhirnya setuju. Terserah mau lewat mana, asalkan ia bisa sampai di puncak rinjani dan menunaikan janjinya pada gadis yang amat ia cintai, Kiran. Minibus kembali melaju membelah dinginnya kota Lombok tapi kali ini dengan tujuan baru, yaitu Sembalun.

#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo

Ada Apa Di Puncak 3726 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang