Sekarang ini Mengunjungi kota Bandung tengah menjadi trend di masyarakat. Kota kembang itu ibarat taman bermain yang ramai, tiap sudutnya penuh oleh manusia.
Pria itu mengakhiri ceritanya. Rambut panjangnya lepek, berminyak, wajahnya tampak kusam dan kini ditumbuhi kumis dan jenggot tipis menunjukkan usianya telah matang untuk menikah.
Dia terkenal seantero Braga. Pakaian khas, kaos hitam dibalut kemeja flanel berwarna merah, siapa yang tahu pria lusuh ini punya kisah yang begitu hebat tentang cinta. Dialah Ranu, si pria batu.
Sekarang ini ia tidak lagi berambisi untuk melukis, tidak lagi berangan-angan menyelesaikan pendakiannya di Rinjani. Sekarang ia cuma pemuda biasa yang sederhana, hangat tetapi masih misterius bagi sebagian orang.
Ia duduk di bangku kayu tanpa sandaran, memamerkan potret indah Segara Anak. Disana ada seorang wanita berambut pendek, punya senyum yang indah lengkap dengan beberapa helai rambut yang mengusik, tertiup angin. Mencoba menutupi kecantikannya.
"Mas Ranu, gadis di lukisan mas kan rambutnya pendek, kenapa bayangannya punya rambut panjang?" tanya salah seorang manusia yang sejak tadi duduk, mencerna cerita si pria batu, Rinjani, dan beberapa keindahan yang ada di sana.
Ranu cuma tersenyum ramah, sambil bercanda mengatakan satu manusia itu tidak menyimak cerita yang ia sampaikan. Tapi pertanyaan itu juga bukan hal yang biasa. Sejak ia mulai bercerita, berbulan-bulan lamanya tentang Rinjani dan apa yang ada di puncak 3726 mdpl, barulah manusia satu ini yang bertanya.
"Matamu cukup jeli," ucap Ranu sebagai jawaban.
Jawabannya sederhana, saat itu ada seseorang yang menungguku di Segara Anak. Dia yang pertama merangkulku sebelum yang lain, yang mata indahnya menatapku seribu kali lebih jauh dari pada 3726 mdpl. Dia perempuan yang sempurna, dia Kiran.
Usai mendengarkan pemaparan sederhana itu, semua manusia yang duduk lesehan mengangguk, memahami maksud pertanyaan seseorang yang punya mata jeli. Katanya.
Hanya saja, seorang manusia masih belum puas dengan jawaban yang Ranu lontarkan. Ia masih setia duduk di barisan paling depan, masih menatap Ranu dengan berbinar-binar menunggu kelanjutan sekaligus akhir dari ceritanya itu.
Perlu diketahui kalau sejak hari itu, Ranu tak lagi mencari tahu dimana jasad kekasihnya bersemayam. Ia seperti menjadi seseorang yang baru, berusaha melanjutkan hidup. Begitu pulang, seminggu setelahnya ia langsung memutuskan untuk pindah dan menetap di kota Bandung, mencari keindahan lain di sudut terkecil surga dunia.
Ia punya kios kecil yang buka hanya saat hujan turun. Memangnya kalau cuaca cerah tidak buka? Tetap buka, tapi kalau turun hujan yang ia buka adalah perjalanannya, tentang sesuatu yang tidak bisa terukur rasa bersyukurnya.
Saat itu kebetulan hujan turun di akhir September, beruntunglah beberapa manusia yang kebetulan tengah berkunjung ke kios miliknya. Uniknya, kios kecil itu cuma punya dua menu, bandrek dan kue balok. Hanya itu.
Bersamaan dengan hujan reda ia segera menyuruh manusia-manusia penasaran itu bubar, kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Silahkan, selamat menikmati."
Duhai, tiada yang tahu bahwa pria ini dulunya rela mendaki Rinjani, rela menguras tabungan, kehausan, berguling-guling di atas tanah hanya untuk mengejar cinta. Baginya itu adalah hartanya, sesuatu paling mahal yang ia punya. Ingatan itu mahal sebab tak semua manusia punya ingatan yang sama tentang sesuatu. Misalnya saat Yama mendaki bersamanya, ingatannya pasti hanya berisi kekesalan melihat si pria batu yang teramat keras kepala, atau Nil yang cuma ingat kalau semangka Rinjani itu enak, atau Nisa yang cuma ingat kawan-kawannya itu pernah duel di atas tanah Rinjani, dan Zakira?
"Maaf, mas." Ranu melihat sekilas manusia mana yang berani menghampirinya saat membuat kue. Itu manusia yang tadi, dia yang bertanya tentang Kiran. Si mata jeli.
"Zakira itu orangnya bagaimana, mas?"
"Perempuan, tingginya sedang, punya rambut, dua tangan, dua kaki dan dua pasang mata yang memikat." Ranu menjawab dengan santai, tangannya sibuk mengaduk adonan, kadang membalik kue setengah matang di cetakan wajan, kadang juga mengiris gula merah.
Pria yang sedari tadi berusaha mencatat informasi tentang Zakira itu terus menunggu, tapi Ranu tak bicara lagi, sibuk menyiapkan pesanan pelanggan.
"Ayo mas, apalagi?"
"Apanya?" jawab Ranu sambil terkekeh, berusaha membalik adonan kue balok yang menempel kuat dengan wajan, seolah tak mau terpisah.
"Hujan sudah reda, kamu sudah pesan? Duduk saja di sana, nanti diantar ke meja mu." Pria itu merengut, tetapi menurut. Ia memesan dua buah kue balok, dua-duanya rasa pandan dan minuman bandreknya diisi setengah gelas saja, ia tidak terlalu menikmati serutan kelapa dalam minuman hangat itu.
Begitu sampai di meja, tak ditemukannya wajah familiar manusia itu, hanya ada dua lembar uang kertas pecahan sepuluh ribu di atas meja. Serta secarik kertas di bawahnya.
"Aku akan datang dan mengambil pesananku bersama Zakira!"
Tertanda, Danial.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Puncak 3726 Mdpl
RomanceBerawal dari Ranu yang mendaki gunung rinjani untuk melukis danau segara anak, ditengah perjalanan ia terpisah dari rombongannya dan malah tidak sengaja bergabung dengan rombongan lain. Tak disangka ia malah bertemu dengan seorang wanita yang sangat...