Sebelum baca jangan lupa vote, komen, and share! Selamat membaca!
Minibus telah terpakir di Desa Sembalun surga di belahan bumi lainnya, si pemilik julukan Bumbung Budaya. Sapta sudah sejak lama keluar dari mobil sedangkan Ranu sang pria batu masih tertidur pulas di dalam minibus, seperti biasa pencinta kupluk itu sungkan untuk membangunkan Ranu.
Sekitar setengah jam Ranu tertidur setelah sampai di Sembalun akhirnya ia terbangun karena udara dingin. Di luar sedang hujan lebat, "Mas Ranu sudah bangun?" ujar Sapta yang membuka pintu mobil, tangannya tampak kerepotan memegang dua buah payung.
"Eh, iya Bang."
"Keluar dulu Bang, ngopi dulu!" sang pemandu menyodorkan salah satu payung pada Ranu, dengan senang hati ia menerimanya. Keduanya berjalan di bawah hujan menuju sebuah warung, ada banyak pendaki lain yang juga sedang berteduh sambil menikmati hujan, di temani secangkir kopi dan pisang goreng yang baru saja diangkat dari wajan.
"Mas mau kopi?" tanya Sapta.
"Boleh Bang." sambil menunggu Sapta memesankan kopi, Ranu mengambil pisang goreng yang tersaji di atas meja. Pisang goreng ini memiliki ukuran yang cukup besar untuk ukuran pisang goreng. Hujan tak henti-hentinya menghujam bumi, mencurahkan seluruh rindu yang telah di tabungnya sepanjang hari.
"Silahkan Mas, kopinya."
"Makasi Bang." tubuh Ranu yang mulai kedinginan seketika kembali hangat setelah seteguk kopi masuk ke tenggorokannya. "Gimana? Enak 'kan?" Ranu mengacungkan ibu jari sebagai jawaban. Untuk kedua kalinya ia kembali menyeruput kopinya sambil melihat sekeliling, gelap. "Sekarang jam berapa, Bang?"
"Baru pukul tiga pagi, Mas."
"Pukul berapa, kita mulai naik?"
"Setelah ba'da subuh, Mas." Ranu kembali mengunyah pisang goreng entah yang keberapa. "Mas Ranu, mau sarapan sekarang?" dengan malu Ranu menjawab, "Enggak Bang, nanti saja." apa begitu terlihat, kalau dia kelaparan? Udara dingin mulai kembali menusuk permukaan kulitnya, T-shirt long sleeve yang di pakainya tak cukup melindunginya dari dingin, jika ini berlangsung lama, tubuh kurusnya bisa membeku.
Ranu perlahan berjalan mengambil payung yang di simpan di pojok warung. Sapta yang melihat itu sontak bertanya, "Mau kemana, Mas Ranu?"
"Ngambil jaket, bang."
"Saya bantu, Ya?"
"Oh gak usah Mas, makasih. Saya ambil sendiri, Bang Sapta istirahat saja dulu." pemuda pencinta kupluk itu menurut, memilih mengistirahatkan tubuhnya sejenak untuk selanjutnya bersiap mendaki puncak rinjani. Tak lama, Ranu kembali dengan jaket parka menempel di tubuhnya. Dari warung Sapta tiba-tiba berteriak, "Mas! Ada telepon!" untuk kedua kalinya tubuh kurus itu kembali menerobos hujan yang semakin deras, dengan cepat ia sampai di teras warung.
"Dari siapa Bang?" tanya Ranu, yang kini telah memegang ponselnya. Di atas layar pipih itu tertulis nama yang beberapa waktu terakhir sengaja Ranu hindari, Yama. Tanpa pikir panjang ia mengangkatnya. "Tumben nelepon, Bang?" ujarnya basa-basi.
"Dimana?"
"Di Bandung, lagi ikut pameran."
"Gak usah bohong, Nisa sudah cerita semuanya. Kami bertiga menuju Sembalun sekarang, mungkin baru sampai besok pagi. Sebaiknya kamu pikirkan lagi niatmu itu Ran, jangan gegabah!"
"Halo Bang Yama, halo! Sinyalnya jelek Bang." tut! Dengan cepat Ranu memutus telepon.
Sejak orang tuanya meninggal, Ranu tinggal bersama Yama dan Nil di asrama kepunyaan orang tua Kiran. Mereka bebas tinggal disana selama yang mereka mau. Dua belas tahun lamanya, hingga akhirnya Kiran dan Nisa memilih tinggal disana. Tentu dengan beberapa orang pelayan dan security. Sejak saat itu persahabatan berubah menjadi keluarga, di antara mereka semua Yama adalah yang tertua, pemimpin dan pengambil keputusan.
"Bang, Kita gak bisa berangkat sekarang?"
"Kita tunggu hujannya reda. Mas Ranu sarapan saja dulu." balas Sapta yang tengah menyantap nasi bungkus. Ranu ikut duduk di sampingnya, menyantap nasi bungkus sambil menunggu hujan reda, agar ia bisa segera mendaki sebelum Yama dan yang lainnya sampai di Sembalun.
#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Puncak 3726 Mdpl
RomantizmBerawal dari Ranu yang mendaki gunung rinjani untuk melukis danau segara anak, ditengah perjalanan ia terpisah dari rombongannya dan malah tidak sengaja bergabung dengan rombongan lain. Tak disangka ia malah bertemu dengan seorang wanita yang sangat...