Rasa yang mulai tumbuh

28 2 0
                                    

"Pukul berapa sekarang?"

"Mungkin sekitar pukul sembilan."

Hujan membuat kabut menghalangi jarak pandang. Para pendaki kini telah sampai di pos dua Sembalun.

"Haus nih, lo punya air Ran?" tanya Nil.

"Air gue habis."

"Kita bisa ambil air disana." Zakira menunjuk sebuah mata air yang cukup lebar, pendaki lain juga ikut mengambil air disana karena ini adalah sumber air terakhir. Diatas sana tidak ada lagi mata air jadi mereka harus mengambil disini. Disana mereka bertemu rombongan yang dipandu Ken. Ia menggurutu tapi terlihat bersalah saat melihat Ranu. Ia tak tahu kalau Ranu tertinggal, padahal sudah diwanti-wanti untuk tetap di dekatnya.

Sang pemandu turun lebih dulu mengisi botol minum dengan air bersih. "Airnya ngalir ke Sembalun?" tanya Yama.

"Iya. Ini juga difungsikan untuk irigasi sawah dan ladang." Sang pemandu yang menjawab. Nisa, Yama, Nil, Zakira dan Ranu mulai meminum air itu.

"Kayaknya kalau terus minum air mentah perutku bisa sakit deh," ujar Nisa.

"Yeh, lemah lo." Nil mulai menggoda Nisa dengan mencipratkan air ke wajah gadis bertubuh mungil di depannya. Nil semakin semangat bermain air saat Yama juga ikut mencipratkan air ke wajahnya.

"Eh, hati-hati dong. Kena muka gue nih," ujar Ranu. Di sampingnya Zakira terus menatapnya, merasakan ada yang berbeda darinya saat menatap pria itu. "Padahal hujan turun ya, tapi kok air-nya gak keruh?" tanya Nil.

"Keseringan sedekah kali."

Zakira masih menatap Ranu saat yang lain asyik mengisi air ke dalam botol plastik. Ranu yang menyadari terus ditatap akhirnya menoleh juga, memberanikan diri bicara. "Za? Kenapa?"

"Kamu ganteng, eh maksudnya langitnya bagus."

"Bagus dari mana, mendung gitu kok," ujar Nisa. Beberapa pendaki sudah mulai melanjutkan perjalanan kembali menyusuri tiap jengkal dari surga tersembunyi di rinjani. Begitu juga rombongan Ken.

"Sudah selesai, Mas? Mbak?"

"Sudah," ucap kelimanya. Mereka kembali melangkahkan kaki di jalan setapak. Sabana yang luas membentang dihadapan mata tanpa diselingi pohon.

"Boleh dilepas aja gak sih ini? Ribet banget naik gunung pake ginian," ucap Nil. Ia menggerutu, mengibaskan jas hujan sembarangan.

"Boleh Mas, dilepas saja. Hujannya juga sudah reda."

"Eh, kalau hujan-hujan gini makan mie instan sama kopi panas enak kali ya?"

Dialog kecil terus terdengar selama pendakian menuju Pelawangan, bukit-bukit cantik tertidur disana. Kata orang rinjani itu wonderland-nya Indonesia, yang menyimpan ribuan kisah dan rahasia secara bersamaan, kisah yang disimpan baik-baik untuk didengar esok lusa. Rahasia yang ditutupi untuk ditemukan lain hari.

Nil berjalan berdampingan bersama Sang pemandu, kali ini Ranu dan Zakira berjalan di tengah, Yama dan Nisa paling belakang. Sejak lama hujan sudah berhenti turun, menyisakan riak air dan tetes kecil diantara rumput ilalang dan aliran sungai. "Tabung itu isinya apa?" tanya Zakira.

"Ini kanvas." keduanya berjalan merapat, hampir tak ada jarak diantara keduanya. Ranu tak banyak bicara tapi debaran di hatinya membuat dia kaku seperti batu sungguhan. Dibelakang sana dua insan lagi menatap aneh dua manusia didepannya.

"Bang Yama, mereka kok deket banget ya?"

"Biarin aja kenapa sih?"

"Ganggu mata Bang, lagian Ranu ngapain sih sok-sokan deketin cewek. Jaga Mbak Kiran aja gak bisa."

"Nis, sebaiknya kamu hati-hati kalau bicara tentang Kiran di depan Ranu. Kamu tahu 'kan dia sensitif soal Mbakmu?" Yama menasehati Nisa layaknya seorang kakak sungguhan.

Berapa lama mereka telah berjalan? Rasanya baru saja mereka mulai mendaki tapi keringat sudah mulai menyucur dari dahi dan tubuh para pendaki. Entah sadar atau tidak track yang tadinya masih landai kini mulai menanjak, para pendaki mulai kehabisan stamina dan semangat. Beberapa diantara pendaki berhenti untuk sekedar meredakan pegal yang menjalar di tubuhnya, terutama kaki dan pundak yang menopang lima sampai belasan kilogram.

"Bro, ini kita masih jauh ya? Kok gak sampai-sampai? Katanya lumayan." seperti kebiasaannya yang sudah mendarah daging, Nil mulai menggerutu. Dibelakang mereka hubungan baik telah terjalin tapi tak mampu menghilangkan cinta dari masa lalu.

"Kita sudah mendaki selama enam jam. Mau berhenti dulu di depan?" tanya Sang pemandu.

"Kita lanjut aja Bang, udah capek nih pengin segera sampai Pelawangan, mau istirahat," ujar Ranu.

"Kok gitu? Lo gak capek? Kita harus berhenti sebentar Ran, kaki gue rasanya mati rasa."

"Itu sih bukan urusan gue," balas Ranu. Nil terlihat kesal dan tak terima dengan keputusan yang Ranu ambil. Dengan kesal ia terus berjalan meski kakinya benar-benar sudah tak terasa menginjak tanah.

"Pelawangan aku datang!" ujar Nil sambil mempercepat langkahnya menyusul Sang pemandu yang sudah jauh meninggalkannya.

#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo

Ada Apa Di Puncak 3726 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang