penyesalan

26 1 0
                                    

Kalau aku bisa bilang si pria batu itu menarik sekali. Dia selalu diam tapi hatinya riuh, dia selalu berbohong dan irit bicara, tapi matanya mengungkapkan lebih banyak dari yang bisa aku dengar.

Mungkin benar kata orang, perasaan yang lebih dulu tertanam jauh di lubuk hati, mana bisa digantikan hanya dengan itungan jari. Aku cukup senang kalau cuma bisa mengagumi pemandangan ini. Aku puas.

Zakira mendekati Ranu perlahan, sesekali berbalik menatap Nisa yang duduk selonjoran, mengacungkan dua jempol padanya. Sementara Ranu sibuk mengobrol dengan Bang Sapta, ia bertanya penasaran apa bisa turun ke danau Segara Anak.

"Treking dulu mas. Ada lagi yang harus dilihat setidaknya sekali seumur hidup," ujar sang pemandu.

Jam satu siang kami baru melanjutkan perjalanan menuju pos tiga. Di sini banyak pendaki-pendaki yang wajahnya jelas bukan Indonesia banget (bule tulen), rambut pirang betulan, kulit putih, serta postur tubuh yang lebih tinggi dibanding orang Indonesia.

Saat ini matahari benar-benar seperti mencium kulit kepala, panas sekali. Tidak ada jalan-jalan santai seperti sebelumnya, tidak ada sabana luas, apalagi kotoran sapi dan kuda liar. Jalanan tanah basah digantikan pasir dan kerikil. Menyebalkan sekali di trek ini. Meskipun pasirnya basah karena hujan, tapi batu kerikil membuat rombongan sering tergelincir.

Bersyukur hujan turun, kalau tidak si pria batu sudah sesak nafas sejak kami mulai. Bang Sapta bilang matahari sekarang terbilang cukup teduh, karena biasa lebih dari ini.

"Ngomong-ngomong bagaimana kamu lolos pemeriksaan kesehatan di bawah sana Ran?" tanya Nil sembarangan.

Sambil terengah Ranu cuma menyeringai, menggenggam erat tali carrier lima kilogram itu. Tapi ada satu orang yang terlihat marah saat Nil berkata demikian, Yama. Dengan cepat ia menyejajarkan langkah dengan dua temannya

"Kamu lewatin pos itu? Gila, demi cinta tuh."

Kalimat Yama sontak saja memantik amarah yang sejak dari kaki gunung ia tahan agar tak merusak suasana.

"Bukan urusan lo," jawab Ranu. Kali ini sang pemandu tidak ikut andil, cuma diam berusaha memaklumi. Sebenarnya ia juga merasa bersalah karena sebelumnya membantu pria batu lolos pemeriksaan asma akutnya itu. Makannya dia berusaha menyiapkan logistik yang cukup terutama obat-obatan, terlebih kenapa ia bersikeras ingin turun saat asma Ranu kambuh, tentu saja ia akan kena sanksi. Sebenarnya sang pemandu juga bukan manusia yang terlalu berani soal hukum.

Sejak memulai perjalanan Ranu terlihat gelisah, berulang kali melirik Zakira di belakangnya, ia terlihat asyik mengobrol dengan Nisa. Meski begitu, itu tidak membuat Ranu senang. Sebab perasaannya mengatakan kalau gadis itu sengaja menjauhinya.

Katanya, bukan cuma Semeru yang punya bukit terkenal. Rinjani juga punya, hanya saja keduanya seperti bertolak belakang. Di sela-sela kecantikannya ada tujuh bukit yang dinamai bukit penyesalan.

Sepertinya memang sudah ditempuh, mengingat sejak awal kami punya banyak sekali penyesalan. Setelah dua jam berjalan,  tanah landai mulai tampak di depan mata. Saking tidak sabarnya, manusia-manusia itu berlari diatas pasir yang longsor saat diinjak.

Teriakan terdengar membuat rombongan panik seketika. Nil tergelincir. Sepertinya ia menginjak kerikil, tapi yang lebih parah adalah dia menabrak Ranu yang saat itu memang berada tepat di belakangnya. Mereka berdua berguling-guling di atas pasir terus ke bawah. Sang pemandu yang panik berusaha menyusul laju keduanya.

Zakira dan Nisa panik, cuma Yama yang terlihat biasa saja. Ia tampak tidak terlalu peduli.

"Dasar ceroboh," gumamnya pelan.

Ketika mereka berhenti berguling, mereka sudah jauh sekali dari tempat ketiga kawannya sekarang, bahkan mereka sudah memangkas setengah pendakian menuju pos tiga.

Ketika Bang Sapta menanyakan keadaan keduanya sambil berteriak, mereka di bawah sana berteriak-teriak, menggerutu kesal, namun setelahnya disusul tawa lepas yang menggema diantara bukit-bukit penyesalan.

"Kamu terlihat tidak akrab dengan Ranu, Yama?" Zakira memulai obrolan.

"Di dunia ini ada banyak orang yang melakukan kesalahan, tapi cuma ada satu orang yang tak sudi memaafkan. Itulah dia si kepala batu," Nisa yang menjawab.

"Kami dulu adalah seniman jalanan, pulang pergi Tanggerang–Bandung cuma buat ikut lomba dan jual lukisan di Braga. Terus kita ketemu Nil. Nyobain makanan aneh yang namanya Tape, Bandrek, karedok." Yama berkisah tentang pertemuan ketiganya.

Obrolan terus berlanjut sampai di titik mengapa mereka saling membenci. Nisa yang tahu jawabannya tentu tak ingin ikut campur memilih berjalan lebih dulu. Sambil menatap ketiga orang di bawah sana, menatap Ranu tepatnya. Yama berucap pelan, bahkan Nisa pun mungkin tidak akan mendengarnya.

Hal tersulit setelah melakukan kesalahan, adalah sadar bahwa ingatan akan kesalahan itu bisa hilang, tapi tidak dengan rasa sesak karena penyesalannya.

Setelah mengatakannya Yama tersenyum. Memberikan instruksi agar Zakira kembali berjalan. Tapi tentu saja ia tak langsung pergi saat disuruh, ia menghela nafas berat, menatap pemuda di bawah sana yang mulai merangkak naik. Ia mengerti sekarang, keyakinannya untuk tak jatuh cinta pada pria itu semakin kokoh.

Ada Apa Di Puncak 3726 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang