3,7 km

39 5 6
                                    

Sebelum baca jangan lupa vote, komen and share! Selamat membaca!

Matahari sudah bersiap untuk menampakan diri, begitu juga Ranu. Dia sudah bersiap untuk mendaki dengan jaket parka yang masih menempel di tubuhnya sejak semalam. Azan sudah berkumandang sejak satu jam lalu. "Mas Ranu. Ikut pemanasan dulu sama yang lainnya!" ujar Sapta.

"Oh, iya Bang." ia meletakan tas carrier seberat lima kilogram di tanah dan berhambur menuju pendaki lain yang sedang melakukan pemanasan. Dengan senyum yang tak henti-hentinya terbit di wajahnya ia mengikuti gerakan pendaki lainnya.

Sedangkan Sapta, ia sudah terbiasa dengan segala hal tentang pendakian. Sejak seminggu lalu ia sudah melatih fisiknya meskipun ia telah puluhan kali mendaki rinjani dan sudah cukup berpengalaman, tapi kali ini bukan lagi fisik yang harus ia khawatirkan tapi nyawa. Ia sadar bahwa untuk pertama kalinya ia akan memandu orang yang bertekad kuat, bukan lagi soal bernyali besar atau fisik yang tangguh.

Ia sibuk mengecek kotak P3K memastikan bahwa sudah terdapat obat untuk penyakit asma terutama cadangan inhaler. Sejak semalam ia belajar cara memberikan pertolongan pertama untuk penderita asma, agar saat sesuatu yang tak diinginkan terjadi setidaknya ia bisa membantu. Berhasilkah? Entahlah biarkan waktu dan takdir yang memberitahu.

Mereka telah selesai melakukan pemanasan, Sapta juga sudah bergabung dengan rombongan. Para pendaki membetuk lingkaran besar dan berdoa dalam hati. Ranu kembali mengenakan carrier yang tadi sempat ia tinggalkan serta tabung yang setia tersampir di pundaknya. Sudah sejak tadi matahari terbit tapi entah kenapa langit enggan menampakan sang mentari.

Sekali lagi semua pendaki kembali mengecek perlengkapan yang mereka bawa, takut ada yang tertinggal. Begitupun Ranu, "Mas Ranu sudah bawa semuanya?"

"Sepertinya sudah."

"Tabung yang waktu itu gak Mas bawa?"

"Astaga, iya. Saya lupa Bang." dengan cepat ia kembali kedalam mobil untuk mengambil tabung miliknya. "Udah Mas?."
"Udah Bang."

"Kalau begitu ayo, kita akan naik sekarang." tubuh kurus yang di balut jaket parka itu terlihat bersemangat, tapi entahlah dengan hatinya. Ranu berjalan berdampingan dengan Sapta sang pemandu, seperti biasa pemuda berambut ikal itu tak lepas dari kupluk abu-abu miliknya.

"Bang Sapta, kita berangkat menuju pos satu 'kan?" tanya Ranu.

"Iya Mas, dari gerbang kita langsung pos satu."

"Seberapa jauh?"

"Sekitar 3,7 kilometer kalau dari sini."

"Mas Ranu, gak apa-apa kan? Kalo gak enak badan bilang aja Mas."

"Eh, saya gak apa-apa kok Bang." balas Ranu. Entah kenapa sejak keberangkatan Sapta merasa gelisah, ia merasa seperti ada yang ia lupakan tapi apa? Dia tidak bisa mengingatnya.

"Bang Sapta kenapa? Kok dari tadi noleh ke belakang terus?" tanya Ranu yang menyadari gerak-gerik pemandunya yang tampak khawatir. "Anu Mas, saya merasa ada yang ketinggalan. Tapi saya gak ingat apa yang tertinggal."

"Udah Bang, gak usah terlalu dipikirin. Mungkin saja cuma barang tambahan."

"Semoga saja benar."

***

Separuh jalan telah di tempuh, tapi Sapta masih terlihat cemas meskipun Ranu sudah menghiburnya. Puluhan pendaki dengan semangat berjalan menyusuri jalan setapak yang di penuhi rumput setinggi mata kaki. Si pria batu tak banyak bicara, ia sibuk mengagumi indahnya ciptaan tuhan. Dalam hatinya ia bergumam, "Kenapa tuhan menciptakan keindahan di tempat tersembunyi? Di tempat yang tak bisa didatangi orang-orang sepertiku, jika aku bertekad untuk mendapatkannya kali ini, apa harus kutukar dengan nyawaku?"

Seakan mendengar apa yang Ranu katakan, kabut mulai terlihat dan udara dingin menerpa permukaan wajah para pendaki. Gerimis mulai turun, kembali membasuh bumi untuk yang kedua kalinya. "Waduh gerimis, Mas Ranu bawa jas hujan 'kan?"

"Bawa kok Bang."

"Mungkin bisa di pakai sekarang, takut hujannya semakin deras." kata Sapta. Ranu menurut, mulai mengenakan jas hujan. Sementara Ranu masih asyik menikmati suasana pendakian, Sapta mulai bisa mengingat bahwa kotak P3K ia letakan di atas kap mobil. Ia tidak yakin sudah memasukannya atau belum.

Nah loh, mungkin kepanjangan nama sang pemandu adalah Sapta, si ganteng tapi pelupa. xixixi. Sudah mulai dapat gambaran apa yang akan terjadi di next chapter?

#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo

Ada Apa Di Puncak 3726 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang