Seminggu kemudian hujan kembali turun di kota Bandung, lebih tepatnya delapan hari sejak terakhir kali si pria batu menyelesaikan cerita pendakiannya di Rinjani. Untuk sebagian orang, cerita-cerita tentang bagaimana manusia lain menjalani hidup bukan sekedar tentang curhat—lebih dari itu mengandung banyak hikmah. Siapa yang tahu akan terjadi pada kita esok hari.
Beberapa manusia yang telah lama mendengar cerita Ranu kembali berkumpul di kios sederhana yang cuma punya dua menu itu. Ranu menggelar tikar, sebuah lukisan terpajang di dinding kasir, satu-satunya dekorasi yang ada. Para pendengarnya rata-rata berusia antara 16 sampai dua puluhan. Pria, wanita, semua ada tanpa terkecuali—duduk mendengar si pria batu bercerita.
Usai perkelahian di Rinjani, malamnya si pria batu entah kenapa tak mampu terlelap. Berulang kali Bang Sapta menyuruh—bahkan memaksa, tetap saja matanya yang bandel itu enggan terlelap. Ia berbaring tapi tidak terpejam, ada kalanya menutup mata namun kepalanya tak berhenti bicara. Ia bangkit sendirian, memperhatikan satu-persatu wajah orang-orang terkasihnya, Mereka semua tertidur lelap. Nil? Jangan ditanya. Lihat saja tangannya yang memeluk erat Yama, mulut menganga serta kaki yang menindih tubuh sahabatnya itu.
"Kiran, aku sudah datang, tapi bingung dengan perasaanku sekarang. Aku jatuh cinta pada perempuan lain," gumam si pria batu. Ia duduk sendirian di depan tenda, menekuk lutut, menatap jauh ke kegelapan. Waktu itu pukul sebelas malam, rata-rata pendaki sudah terlelap. Mendaki Rinjani itu melelahkan, sungguh—aku tidak bohong.
Aku datang tapi dengah hati terisi, singgah dalam kekosongan lalu pulang dalam kegundahan. Malam itu angin Rinjani bertiup sangat kencang, menerbangkan helai-helai rambut yang menutup mata si pria batu.
"Adakah sesuatu yang salah dariku." Ia menutup mata, tertidur diselimuti titik-titik cahaya lampu tenda.
"Mas Ranu!" Langit masih gelap saat sang pemandu menemukan Ranu meringkuk di depan tenda. Badannya menggigil kedinginan, matanya tertutup rapat, tapi mulutnya tak berhenti bergumam. Yama, Nil dan Nisa menyusul. Mereka kompak memeluk si pria batu yang sudah membeku. Tubuhnya benar-benar dingin.
"Hipotermia," ucap sang pemandu mantap. Yang lain kaget, panik, sekaligus tak percaya. Rupanya ada yang lebih dingin dari si pria batu.
Sementara itu Zakira, pukul empat pagi ia dan rombongannya berangkat menuju puncak. Ia berkali-kali melihat ke belakang, mencari si pria batu yang berjanji menemuinya di atas sana. Sayangnya tenda si pria batu terhalang beberapa tenda lain, Zakira tidak tahu apakah saat ini si pria batu dan beberapa teman yang dikenalnya masih terlelap atau sudah lebih dulu pergi ke puncak sebelum dirinya.
"Apa yang terjadi setelah itu?" Seseorang menyela cerita Ranu. Sayangnya itu bukan manusia yang familiar bagi si pria batu, soalnya dia tidak pakai kacamata—menandakan bukan orang yang sebelumnya memesan dua buah kue balok rasa pandan dan bandrek setengah gelas. Bukan Danial.
Ranu tersenyum, "Saat itu, untuk kedua kalinya—aku mendaki tapi tidak sampai ke puncak. Entah apakah Zakira tahu aku terkena hipotermia atau tidak, apakah dia mencariku atau tidak. Mungkin di atas sana ia menantang langit, berjudi dengan Rinjani. Aku pasti tidak menyukainya," jawab Ranu panjang lebar.
Ia melanjutkan cerita, sesuai ingatannya. Terbangun di sebuah ruang sempit dan dikelilingi orang-orang yang ia kenal, bahkan saat itu Kiran mengantar kepulangannya. Pergi naik pesawat, pulang naik ambulans. Ia diangkut ke rumah sakit terdekat begitu turun, tak ingat bagaimana ia turun dari 2.639 mdpl.
Banyak hal yang juga ia tebus, Ranu—si pria batu, tak pernah tahu ada apa di puncak 3726 mdpl itu, bagaimana indahnya torean yang selalu menjadi buah bibir itu. Tapi setidaknya ia berhasil menangkap potret Segara Anak, serta dua orang terkasihnya dalam kanvas yang jauh-jauh ia bawa dari kota.
Selama dua hari ia terbaring di rumah sakit. Terus bertanya bagaimana Zakira? Sudahkah ia pulang? Ia terus mencarinya ke sana ke mari. Saat ia pulih sang pemandu telah lama pergi, meninggalkan secarik kertas berisi nomor telepon pribadi miliknya, karena sebelumnya Ranu menghubungi lewat aplikasi lain dan bukan nomor pribadi sang pemandu.
Seminggu dia di sana, mencari ke seluruh lombok—barangkali ada satu tempat yang Zakira singgahi. Nihil. Ia tak tahu kemana Zakira pergi, ditambah ia tak tahu alamat dan nomor teleponnya.
"Kamu kan punya nomor Sang pemandu, kenapa tidak tanyakan padanya?" Tanya seorang yang lain. Cerita dari sudut pandangnya habis hari ini, bersamaan dengan hujan terakhir di bulan Oktober.
"Aku selalu mencari Zakira, ke tempat yang mungkin dia sambangi. Tapi tidak pernah ke gunung."
"Kenapa?" Salah satu orang menyela.
"Aku takut Zakira cuma ingat kalau aku mengingkari janjinya, takut kalau ia berpikir aku membiarkannya pergi sendirian, takut dia cuma ingat rasa sakit. Lalu soal Bang Sapta, selama tiga tahun ini—aku tak pernah menghubunginya. Bagaimanapun semuanya terjadi secara kebetulan, jadi biarkan saja kebetulan lain yang mempertemukan kami, bagiku itu lebih memuaskan."
Cerita tentang pendakian yang tidak kunjung menemukan puncak akhirnya selesai di sini. Beberapa orang sangat puas, beberapa lagi kecewa, segelintir lainnya bertanya-tanya. Akhirnya beberapa kue balok sampai di meja-meja pelanggan. Ranu tersenyum puas. Matanya menatap satu persatu manusia yang datang untuk mendengar ceritanya. Dalam hati ia bergumam, "Hujan, selalu berisi cerita tentangmu Zakira."
Sayang sekali manusia penasaran itu tidak mendengar akhir ceritanya. Dimana dia? Apakah dia berhasil bertemu Zakira? Aku menunggu pesanan, dua kue balok rasa pandan serta bandrek diisi setengah gelas saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Puncak 3726 Mdpl
RomanceBerawal dari Ranu yang mendaki gunung rinjani untuk melukis danau segara anak, ditengah perjalanan ia terpisah dari rombongannya dan malah tidak sengaja bergabung dengan rombongan lain. Tak disangka ia malah bertemu dengan seorang wanita yang sangat...