Sebelum membaca jangan lupa vote, komen and share! Selamat membaca!
Sapta langsung berhenti untuk memeriksa, ia mengeluarkan setiap isi kantong dari carrier miliknya. Benar saja, bukan barang tambahan justru malah benda paling penting yang tertinggal, kotak P3K.
"Waduh!"
"Kenapa Bang?" tanya Ranu yang berdiri memerhatikan.
"Kotak P3K ketinggalan Mas."
"Yaudah gak apa-apa Bang, 'kan bisa pinjam ke pendaki lain."
"Kalau cuma obat merah atau demam bisa saja. Tapi saya yakin seratus persen tidak ada diantara mereka yang membawa obat asma," balas Sapta.
"Kenapa Bang Sapta tiba-tiba peduli soal penyakit saya? 'kan yang sakit saya?" tanya Ranu.
"Bisa saja saya tidak peduli Mas, tapi nyawa lebih berharga dari pada ego," jawab Sapta.
Bagaimana jika apa yang ia takutkan terjadi? Mengingat apa yang ia dan Yama bicarakan di telepon. Orang dihadapannya menderita asma akut, meski tak sebanding dengan kanker tapi penyakit itu bisa kambuh kapan saja yang berarti orang di depannya bisa meninggal kapan saja."Aduh, bagaimana ini."
"Kita lanjut aja Bang."
"Gak bisa Mas. Tanpa perbekalan yang cukup, itu sama saja seperti bunuh diri." mendengar jawaban Sapta tak membuat pria batu itu gentar. Jika mati adalah harga yang sebanding untuk segara anak, maka baiklah biarkan saja malaikat maut menjemputnya disini, di tempat ia merenggut kekasihnya. Mereka masih menunggu, lebih tepatnya Ranu yang menunggu Sapta yang masih belum menemukan jalan keluar. Tepat saat sudah tak ada harapan salah satu rombongan datang dan kebetulan pemandunya adalah kenalan Sapta.
"Ken!" panggil Sapta.
"Eh, Bang Sapta. Lagi mandu juga?"
"Iya nih. Btw gue bisa minta bantuan lo gak?"
"Bantuan apaan?"
"Ini namanya Mas Ranu, dia solo hiking harusnya gue yang ngantar tapi ada sedikit masalah. Jadi gue minta tolong buat bawa dia, cuma sampai pos satu kok."
"Oh kirain bantuan apaan. Kalau cuma gitu gue bisa bantu."
Setelah bernegosiasi dengan kawannya, Sapta memutuskan bahwa Ranu harus melanjutkan perjalanan tanpanya. "Mas Ranu, lanjutin perjalanan sama rombongan ini. Jangan sampai berpencar, saya harus kembali ke Sembalun nanti saya nyusul."
"Bang Sapta 'kan sudah saya bilang, gak usah balik lagi. Saya baik-baik saja, saya sehat."
"Saya tahu Mas. Tapi saya harus tetap kembali," balas Sapta
"Yaudah terserah Bang Sapta aja."
"Kalau gitu saya pamit Mas, Ken!" tepat setelah mengatakannya Sapta berjalan ke arah berlawanan dari pendaki lain kembali ke Sembalun. "Mari Mas Ranu," ujar Ken.Tinggal satu kilometer agar bisa sampai di pos satu, tapi sepertinya perkataan Sapta benar, Ranu memang sakit. Nafasnya sudah mulai tersengal, keringat bercucuran dari dahinya padahal cuaca dingin karena gerimis. Ken berjalan paling depan sementara ia berada di belakang. Ia sudah tak kuat lagi, perjalanan ini terlalu berat, ditambah carrier seberat lima kilogram yang semakin membebaninya, alhasil ia tertinggal dari rombongan yang dipandu oleh Ken. Ia terduduk di atas rumput sambil meminum air untuk menetralkan deru nafasnya.
"Butuh bantuan?" sebuah tangan tiba-tiba sudah muncul di depannya, ia melihat siapa pemiliknya. Botol yang Ranu pegang jatuh dan menumpahkan segala isinya, "Kamu?"
"Kiran," ujar Ranu, dengan wajah tak percaya ia terus menggelengkan kepala memastikan ini bukan mimpi, ia muncubit tangannya tapi terasa sakit. "Jadi ini nyata?" tanpa aba-aba Ranu langsung berhambur memeluk gadis di depannya.
"Kamu kemana saja? Kenapa ngilang tanpa kabar? Syukurlah kamu selamat. Kenapa harus membuatku menunggu selama empat tahun?" yang di peluk malah tampak bingung tiba-tiba di peluk seorang pria sambil menangis sesegukan.
"Maaf?"
"Kenapa harus selama itu? Kenapa harus membuatku menunggu, Kiran." gadis berambut pendek itu semakin bingung, Kiran? Siapa Kiran?
"Tapi aku bukan Kiran." saat gadis berambut pendek itu mengatakannya, Ranu langsung melerai pelukannya pada tubuh si gadis. Tidak mungkin matanya salah, mau dilihat dari sisi manapun dia memang kiran, Kulit kuning langsat, hidung mancung, mata cokelat, hanya rambutnya yang berbeda. Dipotong pendek tak sampai sebahu.
***
Pelukan tak disengaja itu membawa mereka semakin dekat, membuat Ranu nyaman berjalan bersama gadis berambut pendek pemilik mata cokelat terang ini. "Maaf soal yang tadi."
"Tidak masalah. Karena perbuatanmu akhirnya kita bertemu lagi."
"Apa maksudmu bertemu lagi? Aku baru pertama kali melihatmu," ujar Ranu.
"Tidak. Ini sudah pertemuan ketiga kita. Pertama saat di bandara, kedua di Senaru, dan sekarang disini."
"Apa kau sudah mendapat jawaban dari pertanyaanku tempo hari?" Ranu yang sedari awal menundukan kepala kini menoleh pada gadis disampingnya. "Yang mana?"
"Kenapa naik gunung?" pria batu yang tubuhnya dibalut jas hujan itu diam tapi hatinya berujar, "Ada sebuah pertanyaan yang belum aku temukan jawabannya sampai hari ini. Kenapa naik gunung? Entahlah seperti candu yang ada di dalam aliran darah, gunung dan alam liar terus memanggil untuk kembali."
"Kenapa diam saja? Kau belum temukan jawabannya?" si pria batu menggeleng.
"Baiklah tak apa, kutunggu sampai kita turun dari rinjani jika kamu masih belum temukan jawabannya aku akan membuatmu menghilang dari dunia ini." pria itu diam, tampak tak acuh dengan kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang baru saja ia temui beberapa menit lalu.
"Namaku Zakira. Zakira Husnaini, siapa namamu?"
"Aku Ranu."
"Nama yang bagus."
"Terimakasih," balas Ranu.
"Wajahmu pucat, apa kau kedinginan?" tangan Zakira tiba-tiba sudah menggenggam erat jemari Ranu dan memasukannya kedalam saku jaket miliknya, membuat wajah si pria batu yang biasanya tampak datar kini merah padam.
#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Puncak 3726 Mdpl
RomanceBerawal dari Ranu yang mendaki gunung rinjani untuk melukis danau segara anak, ditengah perjalanan ia terpisah dari rombongannya dan malah tidak sengaja bergabung dengan rombongan lain. Tak disangka ia malah bertemu dengan seorang wanita yang sangat...