Halo Senaru!

100 10 6
                                    

Sebelum baca jangan lupa vote, komen, and share! Selamat membaca!

Dengan langkah gontai Ranu memasuki ruang tunggu, karena ia pergi sendiri tanpa Yama, Nil, dan Nisa. Ia memutuskan menggunakan jasa guide. Barang bawaannya tak banyak, hanya sebuah tas carrier berisi keperluannya selama mendaki. Dan sebuah tabung berisi kanvas kosong untuknya melukis segara anak.

"Mau mendaki ya?" ujar seorang wanita yang duduk disampingnya. Rambutnya pendek tak sampai sebahu, cantik? Sepertinya iya. Wajahnya tertutup masker jadi yang terlihat hanya bagian matanya, mata cokelat terang. Dengan ragu Ranu menjawab, "Iya."

"Gunung mana?"

"Rinjani."

"Kenapa naik gunung?" tanya gadis itu lagi. Kali ini Ranu tidak langsung menjawab, Kenapa naik gunung? Dia juga tidak tahu. Dia hanya ingin melukis segara anak. Gadis bermata cokelat itu masih memandangi Ranu, menunggu jawaban.

"Mas Ranu, ya?" saat ini seorang pemuda berdiri dihadapannya. Rambutnya ikal tertutup kupluk abu-abu, Kulitnya sawo matang dan wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus. "Oh, iya Mas."

"Kenalkan, saya Sapta pemandu Mas Ranu selama pendakian di rinjani."

"Saya Ranu." balas Ranu, mereka saling bersalaman. "Kalau begitu, mari Mas."
Ranu berjalan dibelakang Sapta, meninggalkan gadis bermata cokelat yang kini telah menampakan paras cantiknya. Mereka berjalan sekitar satu kilometer dari pintu keluar bandara. Disana sebuah minibus hitam sudah terparkir rapi menunggu pemiliknya.

"Dari bandara, kita kemana Bang Sapta?"

"Tujuan pertama, Desa Senaru."

"Jauh?"

"Ya, lumayan Mas. Kurang lebih empat jam." jawab Sapta yang kini membuka bagasi mobilnya. "Sini Mas, carrier-nya saya simpan dibagasi." Ranu setuju, menyerahkan carrier seberat lima kilogram pada Sapta.

"Tabungnya Mas?"

"Eh, ini saya pegang saja Mas. Lagi pula tidak berat."

"Yasudah, mari!" keduanya memasuki minibus, Ranu duduk disebelah Sapta yang mengemudi  mulai melajukan mobilnya ke Desa Senaru.

"Kenapa mendaki sendirian Mas?" tanya Sapta.  Ranu menoleh kemudian tersenyum, "Ingin saja."

"Nanti, mendaki lewat jalur Torean 'kan?" lanjut Ranu.

"Iya Mas. Kenapa? Pernah kesana ya?"

"Ya, dulu."

"Torean itu seperti surga 'kan?" kali ini Ranu tak menjawab hanya tersenyum. "Mendaki rinjani itu bukan perkara mudah, tapi saat sampai di puncak, di titik ketinggian 3.726 meter diatas permukaan laut. Baru kita akan merasakan semua keberuntungan." benarkah? Inikah alasan mengapa dia tak beruntung? Karena tak menyelesaikan pendakian? Apa jika empat tahun lalu dia menyelesaikan pendakian, Kiran tak akan meninggal? Memikirkan semua itu membuat matanya berat, perlahan ia mulai terlelap.

***

Saat terbangun, Sapta tidak ada disampingnya. Hanya ada kupluk abu-abu miliknya yang sengaja diletakan diatas kursi. Sapta yang melihat Ranu terbangun mendekati mobil, "Sudah bangun Mas? Ayo turun dulu, makan siang." tanpa banyak bicara, si pria batu turun dari mobil yang langsung di sambut semilir angin Desa Senaru.

"Bang Sapta, kita dimana ini?" tanya Ranu, seingatnya saat mendaki bersama ketiga sahabat dan kekasihnya ia tak datang ke tempat ini. Jelas tidak ingat, sepanjang perjalanan sibuk muntah-mutah.

"Nah Mas Ranu, selamat datang di desa Senaru!"

"Loh, sudah sampai Senaru?"

"Iya, dari satu jam yang lalu malah."

"Kenapa saya gak dibangunin?"

"Saya gak tega, soalnya Mas Ranu kelihatan capek banget." jawab Sapta. Minibus berhenti didepan sebuah warung makan sederhana, bangunan yang terbuat dari kayu dan bilik bambu, atapnya menggunakan rumbia. Ternyata bukan hanya dia yang ingin menikmati indahnya Lombok.

Lihatlah, belasan minibus terpakir rapi di halaman warung makan, sebagian mengisi bahan bakar kendaraan yang diletakan dalam botol plastik dan dituang menggunakan corong. "Bang Sapta, orang-orang itu mau mendaki juga?"

"Oh iya mas, saat mulai mendaki mungkin kita akan bergabung dengan mereka." Ranu mengangguk paham.

"Sini Mas, makan siang dulu!" di meja terdapat sepiring nasi dengan lauk berupa ikan bakar, sayur kol yang dikukus serta sambal kacang. Mereka mulai menyantap makan siang dengan lahap, Sapta melihat tabung yang setia tersampir di punggung Ranu. Itu membuatnya penasaran, "Isi tabung itu, apa Mas?"

"Ini? Isinya kanvas."

"Kanvas?"

"Iya. Salah satu media untuk melukis."

"Oh, Mas Ranu pelukis ya?"

"Eh, bukan Bang. Saya cuma amatiran." Sapta mengangguk, kembali menyantap makan siangnya. "Memang mau melukis apa? Gunung rinjani?"

"Bukan, tapi segara anak."

"Danau segara anak?" Ranu mengangguk, menggeser piringnya yang sudah tandas. "Loh sudah selesai, gak mau nambah Mas?" tanya Sapta.

"Enggak, saya mau berkeliling sebentar."

"Oh iya, hati-hati Mas! Jam satu siang kita lanjut perjalanan." Ranu mengangguk, melambaikan tangan pertanda ia mengerti.

"Saya akan segera kembali." sebelum pergi, ia mengeratkan tali tabung yang tersampir di punggungnya. mulai berjalan menuju perkampungan di Desa Senaru.

"Halo Senaru!" langkah kaki Ranu mulai menapaki belahan bumi pertiwi, perkampungan langsung menyambutnya, rumah-rumah berderet rapi, rumah yang sama seperti warung makan. Dinding dari kayu dan bilik bambu, atap rumbia, lantai yang hanya beralaskan tanah, semuanya sama. Bedanya setiap rumah memiliki pagar bedek sebagai pembatas antara jalan dan rumah mereka.

#paradenulisbukusolo30harirahmanpublisher #tim7paradenulisbukusolo

Ada Apa Di Puncak 3726 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang