Rasa yang tak sampai

20 0 0
                                    

Tiga jam mereka berjalan di bawah langit yang kini mulai menunjukan mentari yang sejak tadi pagi bersembunyi. Jalan yang terjal membuat para pendaki terengah-engah dan mulai kehabisan stamina dan semangat.

"Ah cape."

"Kalo banyak ngeluhnya kapan bisa sampe puncak."

"Istirahat bentar dong Ran. Cape gue."

"Eh ... eh ada cemara di depan," lanjut Nil. Tangannya menunjuk pohon cemara yang dengan gagah berdiri tegak diantara kepulan debu. "Kita istirahat di sana ya," pinta Nil.

"Enggak, gak usah."

"Kita bisa berhenti sepuluh menit di sana Mas, kalau gak berkabut kita juga bisa lihat Danau Segara Anak dengan jelas."

"Yang bener Bang?" tanya Ranu yang lansung diangguki Sang Pemandu. "Oke kalau gitu kita berhenti sepuluh menit."

"Heh, giliran Segara Anak aja langsung setuju," sindir Nil yang membuat semua orang tertawa lucu. Para pendaki yang dipandu Sapta berheti di bawah pohon cemara yang rindang, Yama membantu Nisa duduk, memberinya air dan camilan berupa potongan buah semangka. Nil telah duduk bersama Sang Pemandu sama-sama menikmati perbekalan begitu juga Zakira yang kini ikut bergabung. Sementara Ranu duduk sedikit jauh dari mereka dengan segera mengeluarkan peralatan lukisnya . Syukurlah sudah tak terlalu berkabut membuat Segara Anak terlihat dengan jelas, sangat indah.

"Eh itu si Ranu gak mau makan semangka? Jauh-jauh loh kita bawa, dari pos dua ini," ucap Nil sambil terus mengunyah potongan buah semangka. Mendengarnya Zakira langsung inisiatif memberikan potongan semangka paling besar untuk Ranu.

"Lukisanmu sudah selesai?" Ranu beringsut melipat kanvas, menyembunyikan lukisannya.

"Kenapa Za?"

"Oh itu, aku mau ngasih ini."

"Semangka?"

"Iya."

"Gak usah Za, kamu makan aja."

"Kenapa? Selain gak suka gula, kamu gak suka semangka juga?" tanya Zakira.

"Suka, suka banget malah. Tapi dulu."

"Kenapa? Semangka 'kan enak, manis pula."

"Manisan juga kamu, Za." Ranu mengemas alat lukisnya, memasukan gulungan kanvas kembali ke dalam tabung. Baru beberapa langkah ia berjalan tapi urung dan kembali berbalik menuju Zakira yang mematung dengan wajah memerah akibat perkataan Ranu. "Kenapa Za?" Ranu menggigit semangka yang dipegang Zakira kemudian berlalu meninggalkannya.

"Ayo Za!" untuk kedua kalinya Ranu menoleh memastikan Zakira mengikutinya. "Iya." Ada sedikit senyum di wajahnya saat mengekor di belakang punggung Ranu.

"Sini Ran!" Nil memanggilnya lebih dulu, ia duduk bersama Yama dan Sang Pemandu sedangkan Nisa bersandar di bawah pohon cemara sambil menikmati semangka. "Kayaknya kamu berhasil," ujar Nisa. Zakira yang kini telah duduk disebelahnya menatapnya heran.

"Berhasil soal apa?"

"Soal Ranu."

"Gak mungkin. Kaya yang pernah kamu bilang dia masih terjebak dengan masa lalunya, dan cintanya cuma buat Kiran." Nisa kembali menggeleng. "Dulu dia sering ketawa sama kaya Nil tapi semenjak Mbak Kiran meninggal dia jadi Ranu yang sekarang. Ranu yang tidak memberi ruang untuk siapapun dalam hidupnya tapi perlahan dia mulai terbuka padamu, mungkin saja dia juga menyukaimu 'kan?"

"Menurutmu begitu?" tanya Zakira. Keduanya tengah memandangi pria-pria yang kini tengah tertawa terbahak-bahak entah mentertawan apa. "Kenapa gak coba ungkapin aja?" Zakira langsung melotot saat Nisa mengatakannya, senyum di bibirnya juga menghilang. "Itu ide buruk. Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku?"

"Kamu tidak akan tahu kalau kamu tidak mencoba, kalaupun nanti dia menolak katakan saja kalau kamu cuma bercanda." keduanya tertawa di bawah tatapan para pria yang asyik memandangi wajah-wajah bahagia itu.

"Sejak kapan mereka jadi akur?" tanya Nil.

Ada Apa Di Puncak 3726 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang