Happy reading 💚💚
Taeyong ada di sana. Menatap dari kejauhan di dalam sebuah rumah yang tepat berada di depan rumah putih itu. Taeyong memang sengaja membeli rumah ini jika saatnya tiba. Matanya terus menatap ketika Jenie memasuki rumah itu. Dia tidak bisa menahankan apa yang bergejolak di benaknya dan memejamkan matanya. Akankah Jennie menyadarinya? Menyadari Taeyong yang menunggu saat-saat ini tiba? Menunggu sekian lama dalam kegelapan untuk Jennie?
Matanya menyorot tajam ketika melihat pintu rumah itu terbuka dan Hanbin menggendong tubuh Jennie yang pingsan terkulai tak berdaya. Gerahamnya mengeras, menatap sosok Hanbin yang lengannya melingkari tubuh Jennie. Tidak bisa dibiarkan memang waktunya akan segera tiba.
***
Aroma kopi yang familiar menyentuh hidung Jennie, membuatnya mengerjapkan mata dan mengernyitkan keningnya, kepalanya terasa pening seperti dihantam sesuatu, dia membuka matanya dan menyadari bahwa dia berada di dalam kamarnya sendiri.
"Kau sudah sadar? Kau ingin secangkir kopi?" ranjangnya bergemerisik ketika Hanbin duduk di kaki ranjangnya, membawa secangkir kopi yang mengepul panas.
Jennie berusaha duduk pelan, dan menatap Hanbin yang tersenyum penuh rasa bersalah,
"Aku tidak tahu orang yang habis pingsan boleh minum kopi atau tidak." Hanbin menatap Jennie lembut, "Hanya saja aku tahu kau menyukainya."Jennie mau tak mau membalas senyuman lembut itu, "Terimakasih." Bisiknya pelan ketika Hanbin menyodorkan cangkir kopi itu ke bibirnya, dia menerimanya dan menyesapnya pelan. Rasa pahit bercampur manis yang tajam langsung mengembalikan kesadarannya, Jennie menyerahkan kembali cangkir kopi itu kepada Hanbin dan lelaki itu meletakkannya di meja kecil di dekat ranjang.
"Aku pingsan." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Hanbin menganggukkan kepalanya, "Langsung pingsan setelah melihat lilin berwarna biru itu, sama seperti kejadian di restoran itu."
Jennie menghela napas panjang, kelebatan ingatan itu membuat jantungnya berdenyut pelan. Lilin berwarna biru sejumlah sembilan buah yang disusun setengah melingkar di dalam kamar rumah itu memang tidak menyala, berbeda dengan yang direstoran. Tetapi efeknya sama, menghantamnya sekeras badai.
Pertanyaannya kenapa? Jennie mulai merasa pening karena tidak menemukan jawaban. Dengan lembut Hanbin mendorongnya kembali ke ranjang dan menyelimutinya, "Jangan dipaksakan, kau akan ingat nanti, pelan-pelan ya, sekarang istirahatlah." Lelaki itu berdiri lalu membungkuk di atasnya, sejenak meragu tetapi kemudian mengecup keningnya, membuat Jennie memejamkan mata. Ketika Hanbin melangkah meninggalkan kamar itu, Jennie menatap nyalang ke langit-langit kamarnya merasa bingung.
***
"Aku tidak tega melakukan ini kepadanya, sepertinya setiap dia berusaha mengingat, dia pingsan." Hanbin bergumam kepada atasannya melalui telepon.
Atasannya terdiam, tampak berpikir, kemudian berkata, "Kau harus membuatnya ingat, Hanbin. Hanya ingatannyalah yang bisa membantu kita menemukan "Sang Pembunuh". Kau tahu hanya Jennie dan ayahnyalah yang pernah bertatap muka dengannya. Ayah Jennie sudah meninggal, jadi hanya Jennie satu-satunya harapan kita."
Hanbin menghela napas, menyadari kebenaran kata-kata atasannya. Tetapi melihat Jennie yang pucat dan begitu rapuh itu membuat hatinya sakit. Bagaimana nanti kalau Jennie menyadari kebenarannya? Sekarang Hanbin tidak boleh mengatakannya tetapi pada saatnya nanti, Jennie akan tahu dan dia akan hancur.
***
"Kami harus menjagamu, berbahaya kalau kau ada di rumah sendirian, "Sang Pembunuh" bisa datang kapan saja dan membunuhmu."
Jennie mengernyit mendengar perkataan Hanbin. Entah kenapa batinnya masih belum siap. Kemarin hidupnya baik-baik saja, tanpa kecemasan apapun, mulai menapak hidup seperti manusia biasa saja. Tetapi sekarang hidupnya dipenuhi kecemasan dan konspirasi rumit yang masih sulit dipercayainya, dan nyawanya terancam. Kenapa hidupnya tidak bisa biasa-biasa saja seperti orang-orang kebanyakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DATING WITH THE DARK || JENYONG
Fanfic[WARNING 21+ MATURE CONTENT] Jennie mempunyai trauma masa lalu, kecelakaan yang dialaminya yang menewaskan ayahnya membuatnya selalu dibayangi oleh ketakutan dan teror. Tetapi dengan bantuan psikiaternya dia berhasil melewati rasa trauma itu dan mel...