"Lunara kau dipanggil ibu suri, dia menunggumu dikamarnya" ucap Vorya yang baru saja datang dari kediaman inti, Lunara yang tengah mengupas kentang langsung melepas pekerjaanya, mencuci tangan sebentar lalu menuju kamar Helena berada, setelah mengucapkan terimakasih pada Vorya tentu saja
Tok tok tok
"Masuk" teriak Helena dari dalam
"Duduklah" kini Helena dan Lunara duduk di lantai yang beralaskan permadani juga bantalan duduk, jarak keduanya terhalang meja bulat besar yang berada ditengah-tengah
"Ada apa memanggilku ibu suri?" Lunara menatap lamat sosok wanita didepannya, sosok wanita paruh baya yang lebih tua sedikit dari Noni, dengan rambut hitam yang setengahnya sudah keabuan, kerutan-kerutan halus diwajahnya menandakan bahwa usianya tidak muda lagi, namun Lunara yakin saat muda dulu wanita ini pasti sangat cantik, jika dilihat dari alisnya yang berbaris rapi, matanya yang bulat hitam pekat, bibir kecil namun penuh, dan hidung yang mancung, juga kulit putih bersihnya yang bersinar terkena pantulan sinar mentari, sangat bersih dan terawat, dan satu lagi, ibu suri ini sangat wangi
"Ini untukmu, ambillah" Helena menyodorkan peti kecil yang terbuat dari perak pada Lunara
"Ini apa ibu suri?" Tanya nya lagi dengan raut polos yang tak bisa dilihat Helena karna tertutup kerudung
"Bukalah" titah Helena yang langsung di angguki Lunara
Tek
Begitu peti itu dibuka Lunara semakin dibuat bingung, didalam peti itu terdapat banyak kepingan emas juga batangan, perak, berlian, mutiara, dan juga safir"Aku tidak mengerti ibu suri, bisa tolong jelaskan maksudnya?" Pinta Lunara sepelan mungkin
"Ini semua untukmu" Lunara semakin dibuat cengo, bukannya senang mendengarnya ia malah dibuat semakin bingung
"Untukku? Dalam rangka apa? Bahkan aku belum mengikuti lomba yang kau selenggarakan, itupun aku tidak yakin bisa menang"
Helena tersenyum lalu berkata
"Anggap saja ini hadiah dariku karna kau sudah membuat ladang bungaku menjadi sangat indah, dan juga sudah membuat tanaman buahku menghasilkan buah yang sangat lebat"Lunara menggaruk pelipisnya "maaf ibu suri aku bukannya bermaksud menolak pemberianmu atau tidak menghargainya, tapi aku tidak berhak menerima ini, aku sangat berterimakasih atas niat baikmu, tapi gaji sepuluh kali lipat darimu sudah lebih dari cukup, aku akan sangat berterimakasih jika kau membagikan ini pada mereka yang lebih membutuhkan" Lunara mendorong kembali kotak perak itu ke hadapan Helena
"Noni benar, kau gadis yang baik Lunara, kau juga tidak tamak seperti yang aku fikirkan"
"Kau yakin tidak mau menerimanya?" Tanya Helena memastikan
Lunara mengangguk mantap
"Sangat yakin ibu suri""Baiklah sebagai gantinya aku memberikanmu ini" Helena menutup kotak perak itu, lalu memberikan kotak yang jauh lebih kecil berwarna merah bata dengan ukiran-ukiran rumit yang tampak begitu indah, kotaknya tampak indah ternyata isinya jauh lebih indah
Helena mengeluarkan kalung dengan permata berwarna putih berkilauan dari kotak kecil itu
"Untukmu gadis kecil""Aku ti__" Helena dengan cepat memotong kalimat Lunara karna ia tau gadis itu pasti akan menolaknya lagi
"Ini sebagai tanda terimakasihku untuk jasa-jasa ayahmu yang sudah mengabdikan hidupnya pada Cendana, kumohon terimalah, aku akan sangat sedih jika kau menolaknya"
Dengan pasrah Lunara mengiyakan saja apa yang menjadi keinginan Helena
Helena memberi kode agar Lunara mengangkat sedikit kerudung pada bagian lehernya agar Helena bisa dengan mudah memasangkan kalung itu, mengerti kode dari Helena Lunara langsung mengangkat kerudungnya
"Nah sudah.. wah kalungnya berkilauan saat menempel pada kulit putihmu, kau seputih itu ternyata, sangat cantik" puji Helena diiringi dengan kekehannya
"Ah kau membuat pantatku tersenyum sumringah ibu suri" gumam Lunara tanpa sadar
mata Lunara melebar saat sadar apa yang ia gumamkan barusan, bukannya marah Helena malah tertawa terbahak-bahak sambil memukul kencang bahu Lunara berkali-kali
"Sakit sedikit tidak masalah asalkan dia tidak tersinggung, tamparannya lumayan sakit jika harus mendarat di pipiku lagi" batin Lunara bergumam
kini ia hanya mengikuti alur, berpura-pura tertawa walaupun tidak ada yang lucu
Sementara malam hari disisi barat istana...
"Kau sudah merenungi lukisan itu seharian penuh yang mulia, jika penasaran mengapa tak mencari tau saja siapa pelukisnya"
"Itu bukan ide bagus Jav, aku akan dianggap raja konyol jika heboh hanya karna sebuah lukisan" ucap Kastara yang masih terus memandangi lukisan itu
"Aku tidak menyuruhmu membuat sayembara atau membuat sebuah pengumuman untuk tau siapa yang akan mengaku menjadi pelukisnya" Javas meletakkan pena nya pada meja kerja, lalu bergabung duduk bersama Kastara di kursi santai yang sengaja disediakan disana
"Kita bisa mencari tau secara diam-diam, jika ia melukismu saat malam, maka kita akan menunggunya disana setiap malam, kurasa ia akan kesana lagi nanti, dengan begitu kita akan tau siapa pelukisnya" Kastara terdiam sejenak tampak menimbang-nimbang, kemudian berkata
"Ya kau benar Jav, kalau begitu mulai malam ini aku akan menunggunya disana" wajah datar Kastara membentuk senyum tipis, sangat tipis nyaris tak terlihat
"Kau menyukainya?" Tanya Javas tanpa beban
Pletak
"Aduh" lenguh Javas saat Kastara tiba-tiba menyentil keningnya"Menyukainya gundulmu! Bahkan melihatnya saja tidak pernah, bagaimana bisa aku menyukainya? Lagipula aku hanya tau aromanya tanpa tau siapa dirinya"
"Kau tau istilah cinta yang tak terlihat namun bisa dirasakan?" Kastara mengernyit menunggu kelanjutan kalimat Javas "cinta itu tak bisa ditebak kawan.. tak bisa di prediksi kapan, dimana, dengan siapa kita akan jatuh cinta, tak jarang hanya berkirim surat namun tak pernah bertemu tapi dua orang bisa saling mencintai, ajaib bukan?, dan kau mungkin melupakan satu hal" Javas menggantungkan kalimatnya menunggu respon yang diberikan Kastara
"Apa?" Tanya Kastara acuh
"Kau bahkan masih mencintainya tanpa berkurang sedikitpun padahal kau jelas tau mustahil untuk kalian bersatu, kau dan dia di batasi alam yang berbeda, dia sudah kembali pada penciptanya, dan kau masih mencintainya, kau sudah tak melihatnya, dan kau juga sudah tak menyentuhnya, jadi apakah menurutmu masih mustahil jika kau jatuh cinta pada pelukis itu?" Kastara terdiam merasa tertampar oleh kalimat Javas
"Kau berhak bahagia Kastara.. jangan sangkal perasaanmu jika kau mulai tertarik pada seseorang, waktu terus berjalan, yang telah kembali ikhlaskan kepergiannya, kita yang masih diberikan kesempatan hidup, gunakanlah waktu sebaik mungkin, salah langkah sedikit saja kau bisa menyesalinya seumur hidup, kurasa kau masih ingat wanita yang kau cintai terlalu lama kau abaikan, padahal begitu banyak kesempatan yang membukakan jalan, sampai akhirnya saudaramu yang menghabiskan banyak waktunya, dan kau hanya mendapatkan sedikit waktu bersamanya sebelum ia pergi selamanya, dan itu masih berlaku hingga sekarang jika kau menyia-nyiakan waktu dan kesempatanmu" Javas menepuk bahu Kastara lalu berlalu dari sana, meninggalkan Kastara dengan pemikirannya
"Kau benar Javas, aku harus membuka diriku, aku tak bisa mengabaikan rasa ketertarikanku pada wanita ini, meskipun belum melihat rupanya tapi perasaan membuncah ini tak bisa aku tahan, semakin memandang lukisannya semakin aku ingin tau siapa dirinya, dan perasaan ini sudah sangat lama tidak muncul dari dalam diriku" Kastara tergesa menuju tempat dimana ia dilukis dua hari lalu
Sesampainya disana ia hanya dihadapkan dengan keheningan malam dan__ aroma mawar, wanita itu tadi kesini, namun sayang Kastara tak sempat bertemu dengannya, tidak masalah, masih ada hari esok bukan?
Mabok tulisan...

KAMU SEDANG MEMBACA
KastaLuna (kisah Bratadikara dan Jahanara dengan versi dan zaman yang berbeda)
FantasiKisah seorang raja jin yang teramat mencintai istrinya ratusan tahun silam hingga atas kebaikan sang pencipta, sang raja pun terlahir kembali menjadi manusia seutuhnya, dan buah atas kesabarannya ia menemukan wanita yang sangat mirip mendiang istrin...