dua puluh empat

150 15 2
                                    

Dengan menyelinap tanpa suara, Igna berhasil keluar dari sana.

Igna kembali ke apartemennya, tak menyadari pusing yang menyerang sampai akhirnya ia berbaring di kasur. Igna mencoba memejamkan mata, tapi rasanya mustahil. Black out curtain di hadapannya ternyata tidak cukup membantu.

Cut it, Igna. You know he's not into you. There's no way.

Setelah bergelut lama, Igna akhirnya bisa memejamkan mata. Ketika bangun, kepalanya tidak lagi terasa pusing. Tapi setelah mengingat kejadian di parkiran tadi, Igna menghela napas.

Ck! Drama banget!

Karena pas sekali dengan kedatangan pilot yang selama ini ditakuti oleh Ganen. Besok laki-laki itu datang. Katanya berada di Jakarta untuk dua hari satu malam saja. Igna juga setuju untuk menemani makan malam karena tidak ingin mendapat pandangan buruk dari keluarga laki-laki itu. Toh ibunya juga tidak memaksa. Apalagi setelah melihat Ganen dan mamanya, sepertinya ibunya lebih suka dengan Ganen.

Ganen tidak tau kalau Igna sudah pulang. Igna hanya berkata akhir Januari, tapi tidak mengatakan kapan tanggal tepatnya. Karena sejujurnya saat itu ia belum membeli tiket pulang. Memang sebaiknya Ganen tidak tau. Laki-laki itu bisa puas dengan perempuan itu, kan?

Kenapa, Igna? Cemburu? Bisa kamu cemburu sama perempuan di dekat Ganen? Kamu siapa? Bukannya kamu yang selama ini menganggap kalian adalah teman?

Pada akhirnya pekerjaan adalah yang terbaik.

Dari sore Igna sudah berkutat dengan laptopnya, membaca berkas yang Adrian kirimkan satu persatu. Tubuhnya yang hanya dibalut kaus kebesaran juga meringkuk di kursi. Sengaja Igna menyalakan TV yang menampilkan kartun agar tidak terlalu bosan dalam keheningan. Menyalakan lagu adalah ide yang buruk dalam situasi seperti ini. Apalagi dalam mode shuffle.

Nggak boleh, Igna. You don't give up. Besok mau ketemu Adrian buat deal project, malamnya ketemu Bayu. You don't show up in front of him tipsy.

-o-o-o-

Igna melihat layar hapenya yang terus-terusan bergetar sejak keluar dari apartemen tadi. Sengaja ia biarkan dalam mode getar agar tidak mengganggu konsentrasinya di jalan. Lagipula yang menelfon sejak tadi tidak terlalu penting.

Di kantor, Mince sudah datang dan siap dengan menu sarapannya. Igna sengaja datang lebih pagi karena hari ini ia tidak ke gym. Badannya terlalu remuk untuk diforsir seperti itu.

"Pak Adrian baru datang, Bu," lapor Mince setelah Igna selesai dengan sarapannya.

Igna mengangguk. "Surat-surat ada di tas saya semua." Igna segera melangkah menuju ruangan Adrian yang saat itu entah mengapa lebih hening dari biasanya.

"Sembilan? Kamu yakin?" Igna bahkan belum duduk saat menerima pertanyaan dari Adrian.

"Bapak tidak yakin?"

"Ini bunuh diri, Mishal."

"Saya hanya lead untuk sebagian. Lainnya saya membantu, tidak terjun langsung untuk keseluruhan project."

"Kamu yakin akan selesai bersamaan dengan yang Alexander minta?"

Igna mengangguk sekali. Dalam tatapannya yang tajam tersirat keyakinan penuh.

"Sebenarnya apa yang kamu kejar, Mishal?" Adrian akhirnya mengistirahatkan kedua lengannya di meja, mencoba mengerti rekan kerjanya yang satu ini.

"Dari awal saya berada di sini, tujuan saya membantu Alexander untuk mencapai visinya. Sampai sekarang pun tidak berubah. Saya tidak mengerti mengapa bapak masih meragukan saya. Tidak ada yang saya kejar selain integritas perusahaan. Kita memberikan yang terbaik dari produk, sisanya mengikuti. Ini adalah cara saya mewujudkan visi Alexander. Feel free to judge."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

comfort zoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang