lima belas

150 21 0
                                    

"Ce, sini."

Mince bahkan tak sempat meletakkan tasnya. Ia langsung menghadap atasannya dan duduk di hadapan Igna. "Kenapa, Bu?" Tak lupa ia mengeluarkan tablet untuk mencatat semua perintah Igna.

"Jadwal saya buat besok kamu kirim ke saya semua. Besok kamu ke apartemen saya yang baru. Beberapa barang mulai dateng, nanti kamu yang awasin aja instalasinya. Nanti gambar yang dari Pak Mulang saya kasih ke kamu. Diawasin aja. Sesekali nanti kirim update ke saya. Harusnya besok itu yang dateng meja makan, kursi, sofa, karpet-karpet, semua lampu, sama lemari buku. Buat lampu di lemari bukunya jangan lupa. Nanti, hari Kamis, kamu kesana lagi. Kamis itu... Kasur, instalasi lemari... Pokoknya yang rod sama sekat-sekat lemari. Terus... Harusnya meja bulet di depan sofa udah sampe, kitchen set sama kompor juga dipasang hari itu, tumble dryer saya juga harusnya udah dateng, dan instalasi layar proyektor. Hari Jumat, itu tinggal barang-barang kecil aja. Pelengkap. Jangan lupa juga kasih tau Pak Mulang buat full cleaning sama testing semua alat-alat, ya? Kecuali kulkas itu saya belum beli. Terutama colokan-colokan, lampu, sama semuanya deh. Harusnya di checklist Pak Mulang udah ada. Udah, gitu aja."

"Frame-frame yang kata ibu itu jadinya gimana, Bu?"

"Oh, nggak usah. Itu biar diambil temen saya aja. Saya nggak gantung apa-apa di apartemen nanti. Eh, btw mobilnya udah follow up?"

"Udah, Bu. Hilux jadinya. Toyota."

Mengernyit, Igna kemudian menatap layar komputer dan mencari jenis mobil seperti kata asistennya. "Oh.. Oke. Bagus. Terus apalagi, ya? Bentar." Igna membuka file di laptop dan mulai scrolling. "Oh... Sopir buat April nanti, gimana?"

"Udah ada beberapa kandidat sih, Bu. Tapi yang qualified untuk bisa bahasa Indonesia baru ada satu."

"Daftarnya kirim dulu deh. Saya maunya sebelum ke Jerman udah fix sama mobilnya juga. Tapi paket honeymoon sama hotel udah fix semua, ya?"

"Udah, Bu. Yang saya kirim itu udah semuanya."

"Oke.... Oke deh. Itu dulu aja."

"Baik, Bu. Berarti besok saya full di apartemen?"

"Iya. Itu datengnya pada gantian. Ada yang pagi, ada yang siang, ada yang sore juga. Udah saya bilangin ke Pak Mulang jam lima beres semua."

Mince mengangguk mengerti. "Ibu udah sarapan hari ini?"

"Belum. Pesenin yang buah-buahan aja, Ce. Saya mau susu coklat juga. Dingin."

"Siap, Bu." Mince kemudian bangkit dan membiarkan Igna bersama grafik-grafik keuangan yang senantiasa naik dan turun.

Dua tahun ini Igna bisa mencoret beberapa hal di wishlist-nya. Kerja kerasnya terbayar. Tak peduli berapa kali ia keluar-masuk rumah sakit asalkan semua terbayar. Keinginannya juga orang tuanya sudah hampir terwujud semuanya.

Masih ada beberapa menit sampai jam masuk kerja. Hari ini sengaja ia masuk pagi karena hanya sempat tidur dua jam. Ia juga sudah berlari di treadmill gym sejak jam lima pagi. Ia bisa masuk kerja lebih awal.

Igna meraih hape di mejanya yang berdering. Tertera nama My Sister di layar. Kemungkinannya ada dua. Bisa Zia, kakaknya. Bisa juga Naeva, keponakannya yang paling tua. Tapi sepertinya tidak mungkin Naeva masih bisa main hape. Seharusnya dia sudah berada di sekolah. Atau Neval sudah bisa pegang hape dan menelfon orang-orang secara acak?

"Halo."

"Halo." Oh, benar Zia ternyata. "Sibuk nggak, dek?"

"Ngg... Nggak si. Kenapa, Kak?"

"Ini aku mau ngabarin tukang ayunannya. Udah dapet yang bisa. Kamu mau pesen kapan jadinya?"

"Dia bisa berapa lama?"

comfort zoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang