sembilan belas

103 13 0
                                    

Sayang sekali ini adalah hari terakhir Igna dan timnya bisa berkeliaran di gedung ini. Padahal ini adalah pertama kali Ganen melihat Igna bekerja karena Papanya selalu ada di tempat. Sekalipun tidak ada, pasti Igna tidak ada di sana. Perempuan itu hanya datang sesekali. Sepertinya Igna adalah yang bertanggung jawab untuk deal ini.

Igna juga terlihat tidak terganggu dengan kehadiran Ganen di sana. Perempuan itu tetap bekerja dengan profesional, memberikan pelatihan pada karyawan rumah sakit untuk penggunaan aplikasi. Bahkan sangat profesional. Meskipun sesekali Ganen rasakan aura Igna saat bekerja sangat berbeda dan tajam, tapi Igna tetap terlihat cantik di matanya.

Pekerjaan Igna selesai dengan cepat. Tak sampai jam sebelas siang mereka sudah hengkang dari gedung administrasi Trishaka. Tapi, lagi-lagi Igna menggunakan kendaraan berbeda. Katanya ia harus mengurus project lain dengan client berbeda.

Sempat Ganen mendengar teman Igna bertanya apakah Igna akan ikut ke Bali dengan seseorang bernama Jordan, tapi dengan cepat Igna menggeleng dan berkata, "Saya off untuk waktu project itu." Padahal Ganen juga mendengar kalau Igna yang mengerjakan project-nya.

Sepertinya Igna adalah orang yang cukup penting di kantor.

Sudah beberapa hari ini Igna jarang sekali bisa ditemui. Meski masih bisa untuk ditelfon dan sekedar chat WhatsApp, tapi Igna selalu menolak untuk diajak keluar atau bahkan makan malam di luar. Katanya selalu sibuk. Bahkan weekend pun Igna masih sibuk. Dijemput juga tidak memberikan hasil. Igna pasti langsung pulang dan kembali bekerja. Kata Bebi ini adalah bulan produktifnya. Ganen tidak mengerti apa artinya itu, tapi tetap memastikan kalau Igna akan baik-baik saja.

Padahal Ganen merasa Igna mulai luluh. Pelukan adalah hal yang biasa bagi mereka kini. Sesekali Ganen mencium dahi atau pipi Igna. Memang Igna terlihat kesal, tapi terlalu lelah bahkan untuk memarahinya. Lalu, tiba-tiba...

"Gue udah nggak di Jakarta dua hari lagi."

Tatapan Ganen menajam, pundaknya menegang. "Maksud kamu?"

"Gue pulang. Ke Jawa."

"Bukannya kamu mau ke Hamburg bulan depan?"

"Iya. Tapi balik dulu. Seminggu. Ntar balik ke Jakarta bentar, baru deh cabut lagi."

Oh... Ganen kini lemas. Igna kembali pergi. Tanpanya.

"Jalan sama temen lo yang lain aja, Ganen. Masa nggak punya?" Igna di sana menyuapkan mie kuah ke dalam mulut.

"Pengennya sama kamu, Sayang."

Igna sempat mengernyit sebelum menelan isi mulutnya dan bertanya, "Kenapa? Habis stock cewek yang mau lo cium di bioskop?"

"Astaghfirullah.... Nggak gitu dong, Sayang."

Igna hanya mengedikkan bahu tak peduli. "Siapa tau."

"Iya, habis stock-nya. Satu doang, tapi nggak bisa dateng juga. Lagi ke Jawa katanya. Mau balik."

Igna hanya menatap layar dengan wajah jengah.

Sering Ganen berpikir kenapa sangat sulit bagi Igna untuk menganggapnya ada. Ganen sudah mendekatinya diam-diam selama dua setengah tahun, ditinggalkan selama sembilan tahun lebih, dan mendekatinya dengan blak-blakan selama beberapa minggu ini. Apalagi yang Igna inginkan darinya? Pertemanan? Dengan cinta yang Ganen punya? Atau justru cinta Ganen terlalu menakutkan bagi Igna?

-o-o-o-

Tentu Ganen tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumi wajah Igna saat terakhir di bandara. Igna sempat membelalak sebelum menaikkan masker di wajah Ganen dan kembali menutup wajah Ganen.

comfort zoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang