delapan

211 24 0
                                    

Lima buku sudah berserakan di meja Igna. Semua tak kalah leceknya dengan wajah si empunya. Sejak tiga jam yang lalu Igna tak beralih dari mejanya dan tak henti membolak-balikkan buku-buku perkuliahannya. Semua demi pengganti Otto yang sudah ia janjikan sampai akhir kuartal. Mempelajari ilmu kelautan seingatnya tidak terasa terlalu memusingkan seperti sekarang.

"Bu, mau makan siang apa?" tanya Mince membuat Igna mendongak.

"Nanti aja." Igna kembali membalikkan selembar kertas di buku dan menyesuaikan dengan isi layar.

Merasa idenya buntu, Igna akhirnya menuju laptopnya. Segera ia kirim email berisi tujuan dan permasalahan yang ia hadapi kepada temannya di belahan dunia lain. Beruntung ia sempat mengambil periode ini dan bertemu dengan Khalid. Kalau tidak...

"Bu, ini makan siang untuk Bu Mishal."

What?!

Igna mendongak, ingin mengomel pada asistennya karena memesan makanan tanpa seizinnya, tapi tatapannya jatuh pada kotak makan di tangan Mince. Juga satu tangkai bunga di atasnya. "Itu punya siapa?"

"Punya Bu Mishal semua, Bu."

Hah? "Dari mana?" Igna akhirnya menegakkan badan dan melihat Mince membaca kartu di tangkai bunga.

"Dari lobby tadi dititipin OB, Bu. Katanya dari cowok. Ganen tulisannya. Ada ucapannya, Bu."

Igna menghela napas dan mengambil kartu ucapan itu.

Siang, Igna
Jangan lupa makan siang...
Aku bawain paket ayam krispi kesukaan kamu, semoga belum berubah
Ganen.

P.S. Nggak pedes banget, soalnya aku nggak mau kamu sakit

Urrghh!!

Igna melirik ke arah Mince, menangkap basah sedang mencium setangkai bunga yang tidak ditujukan untuknya. "Makan aja, Ce. Saya masih nggak mood."

"Yah... Saya kan diet, Bu. Malah ibu yang nggak boleh diet sama Pak Bos. Makan aja, Bu. Masih anget. Ini juga kesukaan ibu, kan?"

"Ya udah taruh di meja aja. Ntar saya makan. Bunganya buat kamu aja."

"Bagus lho, Bu. Wangi lagi. Sayang banget."

Igna hanya menggeleng dan kembali ke komputernya. Email-nya telah dibalas!

Sampai sore hari pun kotak makan itu tidak jadi disentuh oleh Igna. Mince sudah mengingatkan tapi malah tak dihiraukan. Terlalu fokus untuk dipecahkan dengan makanan. Di penghujung hari akhirnya Mince kembali memanaskan sekotak makanan tadi di microwave pantry dan menyiapkannya lagi di atas meja Igna. Sama sekali tak berubah berantakannya. Bahkan kini ada beberapa coretan perhitungan rumit di kertas-kertas yang tak sempat menjalani proses cetak.

"Oke. Ce, jadwalin sama anak-anak teknisi buat simulasi hari ini, bisa?" tanya Igna akhirnya. Saat ia mendongak barulah menyadari kalau beberapa kubikel di depan ruangannya sudah kosong.

"Kan udah jam pulang, Bu. Udah pada pulang juga yang di bawah."

Astaga!

"Itu, makan siangnya yang tadi, Bu. Udah saya panasin. Ibu mau pulang jam berapa?"

Igna menoleh. Piring makanan yang masih terlihat uapnya tersaji di sana, persis seperti kata Mince. "Oh. Oke, thank you. Kalau gitu jadwalin besok aja. Pagi. Seharian saya mau revisi sampai malam. Kemungkinan minggu depan udah bisa simulasi akhir."

"Ibu ada con-call dengan AgiLab mulai jam sembilan, Bu."

"Seberesnya itu kalau gitu."

"Baik, Bu."

comfort zoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang