tujuh

194 30 0
                                    

Masih jam tujuh lebih sedikit. Pasti dia pulang lebih cepat.

Tak lagi menoleh kanan-kiri, langkah kaki Ganen langsung mengikuti perempuan yang berjalan jauh di depannya memasuki toko buku. Masih sama seperti dulu. Masih Igna yang sama, yang membuat sorot matanya kabur dan hanya fokus padanya.

Ganen tak habis pikir bagaimana bisa Igna tak mengerti ketertarikannya. Memangnya apa yang salah dengan laki-laki menyukai perempuan? Penyanyi hanya sebuah profesi!

Malam ini Igna mengenakan sweater oversize berwarna olive di luar kaus putih dengan jeans pudar. Seperti yang Ganen ingat, Igna tidak membawa tas karena selalu lebih suka mengandalkan saku jeans laki-lakinya yang dalam. Rambutnya kali ini diikat serampangan, menimbulkan kesan cuek yang selalu Igna berikan padanya. Sayangnya, semakin menarik di mata Ganen. Perempuan yang tenggelam ke dalam lembaran buku-buku, menjadi culun sepenuhnya.

Mengingat pertemuannya dengan Igna kemarin-kemarin, sekarang Ganen melihat wajah Igna bersih dari make up. Ganen juga ingat kalau Igna bukan perempuan yang terlalu peduli dengan make up. Bahkan dulu Igna tak pernah mengenakan apapun selain pelembab dan lip tint untuk sekedar memberi warna pada bibir pucatnya. Sejak kapan Igna mulai peduli? Apakah sejak di Jerman? Apalagi sekarang wajahnya terlihat lebih berkilauan, lebih cerah.

Kalau ada satu hal yang berubah pasti, itu adalah keberanian Igna. Igna yang dulu lebih takut-takut, unsure, dan begitu hati-hati dengan semua yang ia lakukan. Sementara Igna yang ia lihat saat ini jauh lebih berani dan tau pasti setiap langkah yang ia ambil. Jerman pasti sudah mengajarkannya banyak hal.

Astaga, Ganen sudah tidak tahan! Ia ingin sekali menyapa Igna, mengobrol dengannya. Mungkin lebih. Sepertinya Igna tidak akan menyukai itu.

Igna masih saja cantik. Masih sangat menarik di matanya. Masih sangat... sangat mudah untuk dicintai!

Sungguh Ganen harus berterima kasih dengan sistem default dan jadwal Igna saat itu karena akhirnya mempertemukan mereka. Ganen tidak akan mau tau bagaimana kalau saat itu tidak terjadi. Atau kalau saat itu grup presentasi memberi penjelasan yang memuaskan sehingga Igna tidak jadi bertanya dan menarik perhatiannya.

"Is it just me atau lo emang ngikutin gue dari tadi?"

Ganen sampai berjengit ketika menyadari Igna sudah berdiri di sampingnya. Dengan santainya Igna mengambil buku di rak tengah sambil membungkuk dan meletakkannya lagi. Sepertinya tidak menarik.

"Kemarin kamu bilang sibuk," Ganen mengembalikan buku putih di tangannya, baru menyadari kalau sejak tadi ia memegang buku itu dalam keadaan terbalik!

"Terus?"

"Sekarang udah enggak?"

Igna mengedikkan bahu tak peduli. "Lo nggak ada kerjaan, ya?"

"Umm nggak juga."

Igna kemudian meninggalkan Ganen, menuju lorong yang belum ditelusuri selama hampir dua jam ke belakang. Itu berarti Ganen juga sudah dua jam mengikuti Igna...

"Lo mau ngapain sih, Ganen? Nggak capek apa?" Igna akhirnya mengeluarkan isi pikirannya. Ia terlihat tak nyaman berada di sekitar Ganen. Meskipun laki-laki itu sudah lengkap bersama alat penyamarannya. Masih saja dengan beenie dan kacamata bulat yang selalu bisa merubah bentuk wajah Ganen, entah bagaimana.

"Udah malem loh, Na. Nggak mau balik?" Ganen balik bertanya, tak mengindahkan pertanyaan Igna.

"I asked first, Ganen. Kebiasaan deh."

"Nggak, aku nggak capek. Balik barengan aja, yuk! Udah malem gini."

"Gue belum beres." Igna membawa lima buku di tangannya menuju kasir dan membayarnya. Ganen masih setia bersamanya. "Lo balik duluan aja kali. Gue masih belum ini."

comfort zoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang