3. Pesantren

78 14 0
                                    


Detik-detik waktu menjelang malam. Hamparan langit malam yang semakin gelap bersamaan dengan munculnya bulan separuh dari langit selatan. Cahaya-cahaya bangunan memantul ke atas langit yang bertabur bintang. Nampak luas dan indah menunjukkan kebesaran Sang Penciptanya.

Gema lantunan Ayat Suci Al Quran memecah keheningan malam. Suara lantang dari beberapa sudut bersautan menyampaikan ajaran-ajaran agama. Bersama dengan santri-santri yang duduk penuh kerendah hatian.

Ketenangan dan kesejukan masuk ke relung hati Naya. Hatinya bergetar menyaksikan setiap hal di sana.

Hafidz melirik Naya yang sedari tadi melamun sembari menatap ke luar. Mata Naya tak lepas menelisik setiap penjuru pesantren An Najwa. Senyum pun terbit di wajahnya.

"Bang Hafidz, ada Ustadz Rosyid sama Ustadzah Aina di depan." ucap Asror yang duduk dengan Dimas di jok belakang.

Pandangan Hafidz beralih fokus ke arah depan. Tampak dua orang dewasa dan beberapa santri diantaranya. Matanya menatap kedua orang itu penuh arti.

Hafidz mengalihkan pandangannya pada Dimas dan Asror, "Nggak apa-apa. Ada Abang. Ayok turun."

Keempat penghuni mobil putih itu turun dan menarik beberapa atensi orang-orang di depan mereka.

"Assalamualaikum." sapa Hafidz dengan senyuman.

"Waalaikum salam. "

"Asror, Dimas, kalian darimana saja? "tanya seorang wanita yang di sebut Ustadzah Aina.

"Kalian kabur dari pesantren? "ucap Ustadz Rosyid ikut menimpali.

Asror dan Dimas hanya saling diam sambil sedikit mendekat kepada Hafidz.

Tak lama dari itu, seorang wanita paruh baya mendatangi kerumunan tersebut. "Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Semua pasang mata tertuju kepada seorang wanita paruh baya yang datang dengan seorang gadis di sampingnya.

Beliau adalah Nyai Aida Halimah. Pemilik pesantren An Najwa yang meneruskan pesantren suaminya, Kyai Syaifuddin Ali, yang sudah wafat 2 tahun silam.

Naya memperhatikan Umi Aida. Ia sempat mendengar Hafidz menceritakan Umi di mobil tadi. Ia kagum dengan sosok Umi. Beliau memang terlihat penyayang, tulus, dan tenang. Senyumnya tidak pernah luntur dari wajahnya. Siapapun yang berbicara dengannya akan terasa nyaman dan tenang.

Ustadz Rosyid mendekati Umi yang baru datang. "Maaf Umi, mereka biar saya yang mengurus. Umi istirahat saja."

Umi tersenyum tenang, "Tidak. Biar Umi yang mengurus mereka. Kalian cek saja keadaan pesantren. Ini sudah malam."

"Baik Umi. Kalau begitu kami pergi dulu. Assalamualaikum." pamit Ustadz Rosyid pada Umi.

"Waalaikum salam."

Ustadz Rosyid dan Ustadzah Aina pun hendak pergi. Namun sebelum itu Hafidz mencegah Ustadzah Aina. "Aina, saya mau bicara setelah ini."

Ustadzah Aina melirik sedikit pada Umi, "Maaf Ustadz. Lain kali saja."

Tanpa menghiraukan Hafidz, Ustadzah Aina melanjutkan langkahnya menyusul Ustadz Rosyid meninggalkan Hafidz yang menatap keduanya penuh arti.

"Hafidz, Asror, Dimas, dan.." ucap Umi Aida menggantung setelah melihat Naya.

Naya yang peka langsung memperkenalkan diri, "Saya Naya Umi." ucapnya sembari tersenyum.

"Oh iya, Naya. Kalian ikut Umi ke ndalem." ucap Umi mengajak Hafidz dan lainnya ke dalam rumah.

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang