18. Keputusan

32 7 4
                                    

"Nay.."

"Pergi lo! Jangan deket-deket gue!"

Hafidz menghela nafas panjang. Sedari tadi ia berdiri di depan kamar Naya untuk membujuknya namun tak kunjung di izinkan oleh pemiliknya.

Sebenarnya bisa saja Hafidz nekat masuk dengan menembus pintu. Namun ia memilih tak melakukannya. Naya bisa makin marah dengannya.

Setelah kejadian kerasukan tadi, Naya langsung kabur meninggalkan Hafidz di jalanan. Hafidz sendiri juga bingung dengan apa yang sudah terjadi. Hafidz pikir ia tidak bisa memasuki tubuh Naya seperti di film-film. Sebenarnya bukan tidak bisa, tapi ia tidak mau mencobanya. Namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya.

"Pergi lo kak. Lo harus mulai jaga jarak sama gue! Inget, sosial distanseng!"

"Social distancing, Nay.."

"Bodo amat!"

Lagi-lagi Hafidz menghela nafas lelah. Ia mencoba memaklumi sikap Naya. Naya pasti masih syok dengan apa yang sudah terjadi.

"Ntar gue balik lagi." ujar Hafidz pelan.

Segera ia berbalik meninggalkan Naya yang masih mengurung diri di kamarnya. Entah bagaimana keadaannya di dalam sana.

*****

Malam terlihat sunyi. Cahaya bulan masuk ke menembus kaca jendela. Semilir angin turut masuk melalui sela-sela jendela. Jam berdetak menunjukkan waktu sepertiga malam.

Naya yang berbalut mukena terlihat diam melamun dengan segala pikirannya. Ia baru saja selesai sholat malam. Sekalian ia Sholat Istikharah tadi untuk memastikan pertanyaan yang selama ini membuatnya bimbang.

Sudah seminggu ini Naya rutin bangun di sepertiga malam untuk beribadah. Namun masih ada yang membuatnya bimbang. Segera ia mengangkat kedua tangannya.

"Ya Allah, sesungguhnya Naya itu hamba-Mu yang banyak lemahnya. Naya masih sering berbuat dosa dan masih suka males buat ngelakuin ibadah. Ampuni Naya, Ya Allah. Sesungguhnya ampunan Engkau lebih luas dari dosa Naya sendiri."

Naya mulai menangis. Ia juga mulai terisak.

"Maafin Naya dulu suka membangkang orang tua, suka males sholat, suka bohongin Bunda buat nonton balapan, suka minta uangnya kakak. Naya juga pernah fitnah kak Hafidz rusakin motor sampe di marahin Ayah. Padahal itu Naya yang rusakin gara-gara balapan. Mana kak Hafidz cuma diem aja. Maafin banget, Yaa Allah."

Hafidz tersenyum mendengarnya. Rupanya ia sedari tadi diam-diam memperhatikan Naya tengah melamun setelah sholat.

"Ya Allah, Naya bingung. Naya dari dulu pengen masuk UI. Tapi Naya juga pengen masuk pesantren biar bisa kaya kak Hafidz. Naya iri banget, banyak yang doain kak Hafidz setelah kak Hafidz nggak ada. Banyak yang cinta sama kak Hafidz. Naya juga pengen di gituin setelah Naya nggak ada nanti. Naya takut nggak banyak yang doain Naya nanti."

"Naya juga bukan hamba yang baik. Naya masih sering berbuat dosa. Naya pengen berubah. Naya pengen deket sama agama. Naya pengen hafal Al-Qur'an juga. Biar Naya nggak malu waktu menghadap Engkau nanti."

Naya tidak kuat menahan kesedihannya. Ia pun menutup doanya dan bersujud sembari terus menangis.

Hafidz merasa iba dengan kesedihan Naya. Ia turut merasakan kesedihannya. Namun ia hanya bisa diam sembari menunggu Naya menyelesaikan doanya.

Cukup lama Naya bersujud namun tak kunjung bangun. Hafidz mulai curiga. Segera ia beranjak menghampiri dan berjongkok di sebelah Naya.

"Nay.. Naya.."

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang