15. Perkara Bius

67 10 4
                                    


"Haahh.. Akhirnya bisa rebahan juga." ucap Hafidz sembari merentangkan tangannya di atas kasur. Dia merasa lelah karena sejak kemarin ia terus mengikuti Raven.

Hafidz merebahkan tubuhnya di atas kasur miliknya yang sudah lama tidak ia tempati. Sesuai permintaan Naya, kini kamar Hafidz sudah menjadi miliknya. Hafidz senang Naya sudah pindah ke kamarnya. Setidaknya sekarang kamarnya tidak akan banyak debu karena tidak ada yang merawat.

"Lo akhir-akhir ini sibuk banget, kemana aja?" tanya Naya yang masih sibuk berkutat dengan bukunya.

"Main-main bentar." jawab Hafidz yang masih menikmati kenyamanannya.

Semenjak Hafidz jarang menemuinya, Naya selalu menyibukkan diri untuk belajar. Pelaksanaan UTBK tinggal sebentar lagi. Naya harus belajar lebih ekstra untuk mempersiapkannya. Ia kerap kali bergadang hanya untuk sekedar belajar.

Setetes darah menetes ke bukunya. Naya terkejut mengetahui dia mimisan dan langsung menutup hidungnya. Ia segera berjalan setenang mungkin agar Hafidz tak curiga. Sebenarnya ini bukan pertama kali bagi Naya, sudah beberapa kali ia mimisan karena belajar terlalu keras. Namun ia tak memberi tahu siapapun.

Setelah selesai membersihkan darahnya, Naya pun kembali duduk di meja belajarnya untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

"Udahan dulu belajarnya, Nay." ujar Hafidz yang sudah berdiri di sebelahnya.

"Bentar, baru juga jam 11." jawab Naya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Terus mau sampe jam berapa? Atau jangan-jangan selama gue nggak ada lo juga kaya gini? Kok tumben banget rajin." ucap Hafidz heran.

"Ngeremehin gue lo? Udah ah sana-sana!" usir Naya. Namun bukannya pergi, Hafidz malah duduk disebelahnya. Ia mengamati Naya yang masih fokus belajar.

"Nomor dua salah tuh. Coba itung lagi." peringat Hafidz sembari menunjukkan jawaban yang salah.

Mengetahui itu, Naya langsung mengecek kembali jawabannya. Ternyata benar jawabannya salah.

Beberapa kali Naya juga bertanya pada Hafidz jika ada bab yang belum di pahami. Mengingat kakaknya itu memang pintar. Bukan hanya materi agama namun juga materi pelajaran umum. Cara penyampaiannya pun sangat mudah di pahami. Naya pun tak heran jika Hafidz menjadi ustadz favorit di pesantrennya.

"Lo ambil kampus mana?" tanya Hafidz sembari menunggu Naya menyelesaikan soalnya.

"Tetep di UI. Oh ya, gue juga mau daftar tes di univ lo." ucap Naya yang mulai fokus menatap Hafidz.

"Serius?"

Naya mengangguk, "Tapi cuma sebagai cadangan aja."

"Lo ambil jurusan apa?"

"Nah itu, belum gue putusin. Mau bantuin gue milih jurusannya gak? Gue belum tahu apa-apa soalnya."

Hafidz menatap Naya ragu. Namun setelah itu ia beranjak ke arah rak buku. "Sini Nay!" titah Hafidz. Naya pun beranjak ikut berdiri di hadapan rak buku.

"Kenapa?"

"Kalau lo mau tau, ini ada buku-buku dari setiap jurusan di sana. Nggak detail sih, cuma dasarannya." ujar Hafidz sembari menunjuk jejeran buku itu.

Naya pun mulai menyipitkan matanya membaca judul buku itu satu persatu. Semua buku itu terlihat asing dan rumit dalam pandangan Naya. Tidak ada yang ia bisa dari semua materi itu.

"Lo mau gue baca ini semua?"

"Iya lah. Katanya mau nyari jurusan."

"Ya nggak gitu juga Kak! Lo pilihin deh salah satu, terus lo jelasin ke gue."

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang