20. Hari Pertama

46 8 1
                                    

Satu bulan berlalu, hari ini adalah hari pertama masuk pesantren. Momen yang baik untuk membuka lembaran baru menuju versi yang baik. Bukan lagi sirkuit balapan atau tempat tongkrongan yang dituju, tapi pesantren tempat mencari ilmu.

Sudah lima belas menit Barra masih setia di depan cerminnya. Tanpa menyadari Hafidz yang baru datang dan menatapnya dengan tatapan heran.

Bagaimana tidak, Barra menggunakan celana jeans hitam dan kaos putih lengkap dengan jaket hitam kesayangan. Tak lupa ia menggantung kacamata hitam di kerah kaosnya.

"Lo mau kemana?" tanya Hafidz bingung.

"Pesantren lah. Gimana? Kece kan otfit gue?" jawab Barra sembari bergaya di depan cermin.

Baru saja Hafidz mangap untuk mengomelinya, Barra sudah mengangkat tangannya, "Cukup, nggak usah ngomelin gue. Gue mau tampil kece di hari pertama gue ke pesantren. Lagian cuma berangkat doang gue pakai ini, ntar juga ganti baju disana."

"Kece lo bilang? Lo udah kaya preman pasar kurang belaian." ejek Hafidz.

"Dih, syirik aja lo, nying." balas Barra.

"Bar, lo mau ke pesantren, bukan mau balapan. Ganti baju lo!" perintah Hafidz. Ia sudah lelah dengan sikap Barra.

"Ck! Iya, iya." gerutu Barra.

Barra langsung membuka kopernya lagi dan mengeluarkan kemeja putih dan sarung hitam dengan sedikit corak batik di dalamnya. Kemudian ia langsung menuju kamar mandi untuk ganti baju.

Sepuluh menit kemudian, Barra sudah siap dengan pakaiannya. Kemeja putih dengan lengan yang di gulung sampai siku dan sarung batiknya yang sudah rapi. Untung saja ia sudah latihan memakai sarung dengan Hafidz dari beberapa bulan lalu. Jujur ia jarang sekali memakai sarung.

"Nah, gitu kek dari tadi." ujar Hafidz yang malah di abaikan oleh Barra.

Tin tin!

Suara klakson mobil berbunyi di depan rumah Barra. Itu pasti Farel, Farhan dan Gevan yang sudah datang. Mereka janjian mau berangkat bersama yang di antar oleh supir Farel.

"Tuh, antek-antek lo dateng." ujar Hafidz.

Hafidz penasaran dengan teman-teman Barra di bawah. Ia melirik teman-teman Barra dari jendela kamar yang terletak di lantai dua. Tiba-tiba, Hafidz tertawa miris setelah melihat teman-teman Barra.

"Wih, liat tuh temen-temen kesayangan lo, lebih parah dari Lo. Gayanya udah kaya pemain preman pensiyun." ujar Hafidz tak habis pikir.

Karena penasaran dengan yang dilihat Hafidz, Barra pun ikut melirik kebawah melihat teman-temannya. Ternyata penampilan teman-temannya itu lebih parah dari yang di pakai Barra tadi. Bagaimana tidak, mereka hanya menggunakan kaos oblong dan celana jeans sobek-sobek di lututnya. Bahkan ada yang menggunakan celana pendek selutut.

Barra dan Hafidz kompak menggelengkan kepalanya melihat teman-temannya itu. Keduanya tak habis pikir dengan mereka.

"Woi lu semua, sini lo!" teriak Barra dari jendelanya yang langsung mengundang atensi teman-temannya.

*****

"Bunda, Barra mau pamit ke pesantren." pamit Barra pada Bundanya sembari sungkem di depannya. Namun bukannya langsung mengizinkan, Bunda malah menangis.

"Bunda kok nangis lagi? Barra cuma mau ke pesantren." tanya Barra yang mulai kasian dengan Bundanya.

"Iya Barra. Kamu baik-baik disana ya. Bunda.. Bunda bakal doain Barra selalu. Kamu jaga diri ya. Jaga kesehatan juga." ujar Bunda sembari menahan tangisnya.

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang