17. Galau

41 9 1
                                    

"Pagi Bunda." sapa Naya pada Bundanya yang sibuk menyiapkan sarapan.

"Pagi Naya." balas Bunda yang masih fokus dengan kesibukannya.

Melihat Bundanya kesusahan membawa makanan, Naya langsung sigap membantu Bundanya. Ia menata piring-piring makanan di atas meja. Biasanya Hafidz yang membantu Bunda. Namun sekarang Naya yang menggantikan semua tugasnya.

"Panggil Ayah dulu, sayang." pinta Bunda.

Naya mengangguk. Namun sebelum memanggil Ayahnya, Naya sudah mendapati Ayahnya turun menuju meja makan. "Ayah, sarapan." ujar Naya pada Ayahnya.

Bersamaan dengan itu, Hafidz juga datang dan ikut bergabung. Naya memandang kakaknya sinis. Sejak ia menunjukkan surat Ustadzah Aina beberapa hari lalu, ia tidak akur dengan kakaknya. Paginya, Hafidz menyuruh Naya menyimpan kembali suratnya dan tidak memperbolehkannya mengetahui isinya. Sebenarnya bisa saja Naya memaksa membacanya, namun kakaknya malah marah-marah saat itu. Sejak itu Naya kesal dengan kakaknya.

Ayah datang dengan mata meneliti setiap makanan yang tersaji di sana. "Asiik, Chef Bunda masak sop ayam. Jadi lof pakai F." ujar Ayah sembari tersenyum sumringah.

"Oh, jadi selama ini nggak cinta?" protes Bunda sembari melototkan matanya.

'Eh, bukan begitu Bunda. Maksudnya love nya lebih besar. Dari ukuran XXL jadi XXXL!" ujar Ayah sembari menyengir.

Bunda memutar bola matanya, "Alay." balas Bunda singkat. Lalu Bunda kembali fokus ke kegiatannya.

Ayah mendekati Naya dan berbisik, "Istri kaya gini kalo marah biasanya nyeruduk ya, Nay. Hati-hati." ucap Ayah menginterupsi.

"Heh, Ayah. Nggak boleh gitu. Naya cepuin loh." ancam Naya.

"Loh, jangan my daughter. Nanti tanduk Bunda-"

"Apa Ayah?!" timpal Bunda yang sudah bombastic side eye.

Lagi-lagi Ayah hanya menyengir, "Nggak kok, Bunda."

Naya mati-matian menahan tawa melihat wajah ayahnya. Ia juga melirik Hafidz yang ikut tersenyum melihat Ayah Bundanya. Sejak dulu ayahnya lah yang paling bucin dan suka menggoda Bundanya yang dingin. Jarang bertemu karena pekerjaan, namun sekali bertemu pasti ada aja kelakuan Ayahnya yang membuat Bundanya emosi.

Pertengkaran itu berhenti seketika setelah semua makanan tersaji. Baik Naya, Ayah dan Bundanya sama-sama fokus dengan makanannya. Naya melirik Hafidz yang sedari tadi hanya diam menatap.

Setelah selesai, Naya tiba-tiba terpikir sesuatu. Hal yang tak henti ia pikirkan beberapa hari ini, "Ayah, Bunda. Naya mau tanya sesuatu." ujar Naya yang langsung menarik fokus mereka.

"Menurut Ayah sama Bunda, Naya harus lanjutin kuliah dimana? Ya tau, Ayah sama Bunda ngebebasin Naya buat milih kampus. Tapi kalau dari Ayah sama Bunda sendiri, pengennya Naya kuliah dimana? Pasti sempet kepikiran kan." ujar Naya.

Ayah dan Bunda saling menatap heran mendengar pertanyaan Naya. Hafidz turut mengerutkan dahi mendengarnya. Namun ia memilih diam menyimak pembicaraan mereka.

Ayah mulai memasang muka serius, "Sebenarnya, Bunda sama Ayah pengen kamu ngelanjutin di An Najwa, sayang. Hanya saja semua terserah kamu, yang penting kamu masih mau kuliah." jelas Ayahnya.

"Iya, Naya. Asal kamu tau juga, Ayah sama Bunda sebenarnya juga lulusan sana." timpal Bunda.

"Oh ya? Bukannya Ayah sama Bunda lulusan UNPAD ya?" tanya Naya penasaran.

"Iya. Tapi mondok di An Najwa." jawab Bunda.

"Serius Bunda? Apa nggak sulit? Jurusan Ayah sama Bunda aja sulit banget. Ayah bisnis terus Bunda kedokteran." ujar Naya keheranan.

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang