2. Pertemuan

85 16 1
                                    


"Kak Hafidz."

Naya muncul dari balik pintu kamar Hafidz dengan cengirannya. Hafidz yang kala itu sedang muroja'ah hafalan seketika terhenti. Ia melihat Naya sekilas lalu menutup Al Qurannya dan menciumnya.

"Anti sama cewek belum mandi." jawab Hafidz santai.

Naya menutup matanya menahan emosi. Senyumannya masih ia tahan. Memang benar kata Hafidz, Naya belum mandi. Sudah sejak 2 jam lalu Naya pulang sekolah dan masih belum melepas seragamnya. Itu sudah menjadi kebiasaan Naya sejak dulu. Naya terlalu malas.

"Iya deh kakak yang wangiii." ucap Naya dengan senyum julidnya. Tanpa meminta izin, Naya langsung masuk ke kamar Hafidz.

Kamar Hafidz terlihat rapi dan bersih dengan aroma lavender yang mendominasi ruangan. Angin malam dari luar jendela ikut menyejukkan ruangan. Kamar yang sebagian terisi oleh buku-buku yang tersusun rapi dalam rak besar. Menunjukkan sang pemilik merupakan pencinta ilmu.

Di atas ranjangnya terpampang jelas sebuah foto keluarga yang di ambil ketika Hafidz wisuda hafalan 30 juz. Terlihat dari selempang yang ia pakai dalam foto itu.

Naya tersenyum ketika menemukan fotonya dan Hafidz saat wisuda Hafidz di atas nakas. Cukup banyak ia menemukan fotonya di kamar Hafidz.

Naya mengalihkan pandangannya ke arah Hafidz sambil tersenyum manis. Hafidz berdiri mengembalikan Al Qurannya dan mengabaikan Naya. Melihat adiknya seperti ini justru membuat Hafidz curiga. Adiknya pasti ada maunya.

"Kak, malam minggu keluar yuk naik motor, hehe" ujar Naya dengan cengirannya.

Kan.

Hafidz menghela nafas bosan, "Udah mikir malming aja lo."

"Ya nggak apa-apa. Mau ya?" ujar Naya sembari tersenyum manis.

Hafidz menatap Naya curiga, "Mau ketemu siapa lo?"

Pertanyaan Hafidz sedikit membuat Naya termangu, "Hm.. nggak kok. Gue cuma pengen jalan-jalan sama lo. Kan udah lama nggak keluar bareng."

"Ogah." balas Hafidz singkat sembari beranjak duduk di kursi belajarnya.

"Ih kak ayooo." rengek Naya sambil menggoyang-goyangkan kepala Hafidz.

"ADUH, KEPALA GUE NAYA!" teriak Hafidz setelah merasa kepalanya akan patah karena Naya.

Naya melepas tangannya dari kepala Hafidz, "Ayoo."

Hafidz berdecak kesal, "Izin Bunda."

"Izinin."

"Repotin aja lo."

"Iziniiin." ucap Naya dengan muka yang dimelas-melaskan.

"Ogah lah." balas Hafidz mulai lelah.

Naya semakin merengek, "Kaaak."

Hafidz mulai pusing dengan rengekan Naya. Ingin sekali dia membekap mulutnya Naya.

"Kak Hafidz!"

"Nggak bisa gue sibuk."

"Kaaak."

Hafidz tidak menggubris rengekan Naya. Naya bahkan sudah berusaha caper. Mulai dari menarik tangan Hafidz, mengacak-acak rambut Hafidz, naik gendongan Hafidz, berguling-guling di kasur Hafidz.

Bahkan Hafidz sampai menyalakan murrotal dari ponselnya dengan volume full untuk meredakan suara rengekan Naya.

Naya mulai terpikir sebuah ide, "Kak gini deh, gue bakal turutin mau lo selama seminggu."

"Nggak butuh." balas Hafidz singkat.

"Aaaaa, Kak Hafidz!" rengek Naya semakin frustasi.

Padahal Naya sudah memberi tawaran langka kepada kakaknya. Tapi tetap saja Hafidz tidak mau.

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang