The Best Man
By Tamara Aruna
Kejadiannya sudah lama sekali.
Namun dari caranya memandangku, dia belum melupakannya.
Aku juga belum....
Semua orang sudah tidur karena kebanyakan minum. Kami baru saja lulus SMA kala itu. Jade yang waktu itu adalah salah satu sahabatku sejak kecil mengadakan pesta miras kecil-kecilan di garasi karena ayah dan ibunya sedang ke luar kota. Mereka meminta sepupu Jade yang dua tahun lebih tua dan sedang liburan untuk menjaganya. Sebagai pria dewasa, dia paham betul kami butuh perayaan. Asal semuanya terkendali, dia berjanji tidak akan memberitahu siapapun.
Aku hanya kenal dia selama dua minggu sebelum kejadian malam itu. Namanya Abraham, seperti biasa kami memanggilnya Bram. Cewek-cewek sepantaran Jade menganggapnya sangat jantan. Dia memiliki bekas luka melintang di pelipis kirinya dan konon pernah dipenjara beberapa saat karena berkelahi.
Mungkin apa yang dikatakan ibuku benar, anak-anak perempuan selalu tertarik pada cowok-cowok brengsek dan bersikap terlalu nakal pada cowok baik-baik. Diam-diam aku juga tertarik padanya. Aku berani bersumpah, saat pertama kali dikenalkan, tatapan matanya tertaut padaku sedikit lebih lama dibanding ketika dia menjabat teman Jade yang lain.
Walau begitu, aku sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Aku cuma anak ingusan yang baru lulus, sedangkan Bram—meski hanya dua tahun lebih tua—terlihat jauh lebih dewasa. Dia menenteng botol bir sambil memotong rumput, bertelanjang dada. Pada malam hari dia nongkrong di bar sambil main biliard.
Lagipula, waktunya terlalu singkat untuk menyelami perasaanku selain bahwa menurutku dia cukup tampan dan misterius. Rumor beredar sangat cepat karena kami tinggal di kota kecil. Hanya gara-gara bekas luka melintang di pelipis kirinya, spekulasi tentang masa lalu Bram simpang siur. Ada yang bilang dia lari setelah membunuh orang, ada juga yang mengaitkannya dengan sepak terjang grup perampok yang menjarah rumah orang-orang kaya dan baru tertangkap tepat sebelum Bram muncul di kota ini.
Maksudku, mereka sudah ditangkap, lalu apa yang dilakukan Bram di sini kalau dia salah satu dari mereka? Orang-orang di kota bicara seolah Bram sudah hidup dua kali lipat usianya sampai punya sederet catatan buruk di kepolisian. Tentu saja, tidak satupun terbukti kebenarannya, pun apakah dugaan itu salah.
Masih lekat di ingatanku semua detail kejadiannya. Bagaimana aku bisa lupa? Dia kali pertamaku. Kupikir kami nggak akan bertemu lagi, tapi rupanya kampung halaman ini seperti medan magnet yang menarik kembali semua orang yang berusaha meninggalkannya. Hampir mirip dengan perjumpaan pertama kali, mata Bram tertaut lebih lama padaku dibanding saat dia mengenalkan best man lain pada sepupunya itu.
Aku mencoba mengingat-ingat, apakah saat itu jantungku berdebar sekencang ini?
Mungkin, sepuluh tahun lalu aku tak menyadari perasaanku karena kami belum kenal lama, kami juga tidak banyak berinteraksi. Kini, sebagai perempuan dewasa yang terus gagal dalam bercinta dan merasa semua lelaki tak cukup baik bagiku, aku mulai menduga bahwa semua itu karena hubungan singkatku dengan Bram terlalu indah untuk dilupakan. Singkat yang bukan kiasan. Benar-benar singkat karena keesokan harinya saat kami bangun, Bram sudah tidak ada di sana. Dia pergi setelah meniduriku.