Belah Duren Ramai - Ramai (1)

27.8K 55 2
                                    

Sebut saja namaku Citra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebut saja namaku Citra. Usiaku 17 tahun. Saat ini aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Sebagai anak SMA, aku termasuk tinggi. Apalagi aku seorang perempuan. Tinggi badanku 170 cm dengan berat badan 55 kg. Selain itu, tubuhku tergolong seksi. Aku memiliki pinggang yang ramping dan pantat yang semok karena aku rajin skuat. Dadaku juga dihiasi sepasang payudara yang besar yang kadang membuatku malu sendiri kalau ada para lelaki yang memelototiku saat pelajaran olah raga. Mengenai wajah, orang-orang juga bilang wajahku manis dan enak dipandang lama. Kemudian, aku ini sebenarnya seorang model muda di Surabaya. Aku sering tampil sebagai model catwalk di mall-mall untuk memperagakan busana buatan para desainer-desainer lokal. Oleh karena itu, aku cukup populer di sekolah meskipun pada dasarnya aku pendiam.

Meskipun banyak stereotip kalau model suka sekali gonta-ganti cowok, pada kenyataannya aku ini belum pernah pacaran sama sekali. Kenapa? Karena pada dasarnya aku ini cukup selektif dalam memilih pacar. Bagiku, cowok-cowok jaman sekarang kebanyakan tidak serius dalam berpacaran. Mereka cuma ingin mengajak pacarnya berhubungan badan saja dan menikmati seks sesering mungkin. Aku sendiri sangat menjaga kesucianku karena aku hanya ingin memberikan keperawananku pada orang yang tepat di ranjang malam pertamaku kelak. Oleh karena itu, aku pun sangat selektif memilih cowok yang dekat denganku agar aku sampai tidak salah memilih.

[ ... ]

Di sekolah, aku punya kawan akrab bernama Dinda. Dia orangnya cantik. Tingginya sedikit lebih pendek dariku, namun badannya lebih bahenol. Anak-anak di kelas bilang badannya seperti gitar Spanyol dan tidak segan-segan menggoda dan terkadang memegang tubuh Dinda saat berbicara. Dinda sendiri perempuan yang sangat terbuka soal seksualitas. Dia sering banget gonta-ganti pacar. Dinda memang selalu berpenampilan sangat menarik. Apalagi, dia sering menggunakan seragam atau pakaian yang minim... Peduli amat kata guru, pesona jalan terus! Itu moto Dinda.

Waktu ada darmawisata kenaikan kelas ke Bali, aku dan Dinda sekamar bersama empat perempuan lain. Kami menginap di sebuah kompleks berisi banyak sekali villa di kawasan Ubud yang sepi. Di villa kami, satu kamar dihuni enam orang. Gilanya lagi, kamarnya kecil banget... Aku dan Dinda sampai berantem sama guru yang mengurus pembagian kamar. Dinda yang pada dasarnya anaknya berani pun memperjuangkan agar kami mendapatkan kamar yang nyaman. Alhasil, kami berdua pun bisa memperoleh villa lain yang sedikit lebih jauh dari villa utama. Semua penghuni villa kami dipindah bersama-sama ke villa lain yang lebih luas kamarnya. Lalu, di belakang villa kami, hanya terpisah pagar tanaman, adalah villa laki-laki.

"Citra, kamu udah beres-beres, belum?" tanya Dinda waktu dilihatnya aku masih asyik tidur-tiduran sembari menikmati segarnya udara Ubud yang berbeda dari udara Surabaya.

"Belum nih, Din... Ini baru mau beres-beres." jawabku sekenanya karena masih malas bergerak.

"Nanti aja, deh. Kita jalan-jalan, yuk," ajak Dinda santai.

"Boleh juga..." gumamku sembari bangun dan menemaninya jalan-jalan.

Kami berkeliling melihat-lihat pasar lokal, villa utama, dan tempat-tempat lain yang menarik di sekitar kompleks villa kami. Di jalan, kami bertemu dengan Ringgo, Rahadi, dan Yudha yang tampak sibuk membawa banyak barang bawaan mereka.

"Mau kemana, Yud?" sapa Dinda.

"Eh, Dinda. Aku sama yang lain mau pindahan nih ke villa laki-laki yang satunya... Villa utama udah penuh sih..." Ringgo yang menjawab. "Terus, kami bertiga kalah suit. Jadinya, kami bertiga yang harus bawakan semua barang bawaan anak-anak..."

"Kalian berdua mau bantu, enggak? Gila... Kami udah nggak kuat bawa semuanya nih..." pinta Yudi memelas. "Ini sudah yang terakhir, sih..."

"Oke, tapi yang enteng aja, yaa..." jawabku kasihan sembari mengambil alih beberapa barang ringan.

Dinda ikut mengambil beberapa barang, ingin meringankan beban Rahadi dan Yudha.

Sampai di villa laki-laki, aku bengong. Kini di villa itu, ada delapan anak laki-laki berkumpul di ruang tamu. Si Ringgo terlihat baru saja keluar untuk meminta pemanas air untuk membuat kopi. Beberapa pria lain bersantai, bahkan ada yang tidak memakai kaos, menampilkan dada mereka yang bidang. Yang bener aja! Masa iya aku dan Dinda harus masuk ke sana? Akhirnya, aku dan Dinda hanya mengantar sampai pintu.

"Masuk aja kali, Dinda, Cit." ajak Yudi cuek. "Ntar aku kasih minum... Hitung-hitung balas budi setelah kalian udah bantuin aku, Yudha sama Rahadi..."

"Ng... Ng... Nggak usah, Yud." tolakku halus.

Dinda sih tampak diam aja dan cuek. Kulihat dia malah makin asyik melototi tubuh cowok-cowok yang tidak memakai baju.

"Dinda, sini dong!" terdengar teriakan dari dalam.

Aku mengenalinya. Itu suara si Feri!

"Aku boleh masuk, ya?" tanya Dinda sembari melangkah masuk sedikit.

"Boleh doooong!" terdengar teriakan heboh nan kompak anak laki-laki dari dalam.

Dinda langsung masuk. Aku jadi tak punya pilihan lain selain mengikutinya.

Di dalam, anak-anak laki-laki lain, sekitar delapan orang, sedang asyik nongkrong sembari bermain gitar. Begitu melihat kami yang tampak malu-malu, mereka langsung berteriak menggoda kami.

"Eh, ada perempuan! Serbuuuuu!"

Serentak, delapan orang itu maju seolah mau mengejar kami. Aku dan Dinda langsung mundur sembari tertawa-tawa melihat tingkah konyol mereka. Aku langsung mengenali delapan orang itu. Mereka adalah Yudha, Rahadi, Feri, Kiki, Dana, Ben, Agam, dan Roni. Semua dari kelas yang berbeda-beda.

Tak lama kemudian, aku dan Dinda sudah berada di antara mereka, bercanda dan bercerita-cerita. Dinda malah dengan santai tiduran telungkup di kasur mereka. Aku sih risih banget melihatnya namun diam aja. Entah siapa yang mulai, banyak yang menyindir Dinda.

"Din... Enggak takut digrepe-grepe kamu di atas sana?" tanya Rahadi bercanda.

"Siapa berani, ha?" tantang Dinda bercanda juga.

Namun Kiki malah menanggapi serius. Tangannya naik menyentuh bahu Dinda. Perempuan itu langsung memekik menghindar, sementara para laki-laki lain malah ribut menyoraki. Aku makin gugup. Perasaanku tidak enak.

"Din, bener ya kata gosip kalau kamu udah nggak perawan?" kejar Roni mencari informasi.

CERITA PENDEK ( ONE - SHOT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang