Belah Duren Ramai - Ramai (2)

17.2K 23 0
                                    

"Kata siapa, hah?" balas Dinda sambil berpura-pura marah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kata siapa, hah?" balas Dinda sambil berpura-pura marah.

Namun, gayanya yang defensive malah dianggap sebagai anggukan iya oleh para laki-laki.

"Boleh dong aku juga nyicip, Din?" tanya Dio.

Dinda diam aja. Aku juga tambah risih. Apalagi, pundak Feri mulai ditempelkan ke pundakku. Dan entah sengaja atau tidak, tangan Agam menyilang di balik punggungku, seolah-olah hendak merangkul tubuhku. Bingung karena dihimpit mereka, aku memutuskan untuk tidak bergerak.

"Aku masih perawan... Citra juga... Kata siapa itu tadi, hah?" omel Dinda sembari bergerak untuk turun dari kasur.

Namun, tangannya segera ditahan Roni.

"Gitu aja marah... Udah, kita cerita-cerita lagi... Kita kan bercanda, Din... Jangan tersinggung..." bujuk Roni sembari mengelus-elus rambut Dinda.

Aku tahu Dinda dulu pernah suka sama Roni, jadi dia membiarkan saja Roni mengelus rambut dan pundaknya. Bahkan, Dinda tidak marah waktu Roni merangkul pinggangnya.

"Cit, elo mau dirangkul juga sama aku?" bisik Agam di telingaku.

Rupanya, Agam menyadari kalau aku memperhatikan tangan Roni yang menyelimuti pinggang Dinda sedar tadi. Tanpa menunggu jawaban, Agam memeluk pinggangku... Aku kaget bukan main. Namun, sebelum bisa protes, tangan Feri sudah menempel di pahaku yang terbungkus celana selutut, sementara pelukan Agam membuatku mau tak mau berbaring di dadanya yang bidang. Teriakan protes dan penolakanku tenggelam di tengah-tengah sorakan yang lain. Ringgo bahkan sampai masuk ke kamar karena mendengar ribut-ribut tadi.

"Aku juga mau, dong!"

Yudha dan Kiki menghampiri Dinda yang juga lagi dipeluk Roni, sementara Rahadi, Ben, dan Ringgo menghampiriku.

Berbeda denganku yang menjerit ketakutan, Dinda malah kelihatan keenakan dipeluk-peluki dari berbagai arah oleh para laki-laki yang mulai kegirangan itu.

"Jangan!" teriakku waktu Ringgo mencium pipi, dan mulai merambah bibirku.

Ciuman pertamaku disambar Ringgo... Aku hendak berontak dan marah. Namun, hormon seorang perempuan berusia 17 tahun seperti aku rupanya sangat sensitif dengan rangsangan dari lawan jenis. Selama ini, aku menutup diriku dari keberadaan pria. Padahal, aku sangat penasaran dengan sentuhan pria. Apalagi, Ringgo sendiri sangat tampan. Dia salah satu idola banyak perempuan di sekolahku. Dia ketua tim basket dan berbadan tinggi dan kekar. Bukan rahasia lagi kalau perutnya six pack karena dia sering memamerkan tubuhnya dengan membuka kaosnya sebentar setiap selesai memberikan goal di tim basket kami. Kami, para murid perempuan, sudah sering membicarakan keseksian Ringgo secara diam-diam.

Ringgo pun mengeluarkan lidahnya yang basah dan menerobos masuk ke dalam mulutku. Aroma napasnya segar dan rasa ludahnya sedikit manis. Sepertinya, dia baru saja makan permen mint atau semacamnya. Sementara itu, Ben menjilati leherku dan tangannya mampir di dada kiriku, meremas-remasnya dengan gemas sampai aku kegelian. Kurasakan genggaman kuat Feri di dada kananku, sementara Rahadi menjilati pusarku. Ternyata mereka telah mengangkat pakaianku sampai sebatas dada. Aku menjerit-jerit memohon supaya mereka berhenti, namun sia-sia. Mulutku masih dalam kekuasaan Ringgo.

CERITA PENDEK ( ONE - SHOT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang