Bagian 10

21 16 10
                                    

10. Cake Bencana

 Cake Bencana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Salwa meregangkan ototnya saat cahaya matahari menyelinap masuk dari balik gorden. Masih pukul enam lewat sepuluh menit, hari ini Salwa akan libur dulu untuk lari pagi. Dia merasa sedikit capek.

Sejujurnya ini masih terlalu pagi untuk mandi di waktu libur seperti ini. Namun, itu sudah menjadi rutinitasnya saat tidak pergi berlari. Dua puluh menit dia habiskan untuk bertemu dengan dinginnya air di pagi hari.

Dengan baju bergambar Shinchan, Salwa keluar dari kamarnya begitu mendengar suara orang ramai dari luar. Ada sekitar tiga orang bapak-bapak yang sedang mengangkat kardus-kardus dan dipindahkannya keluar rumah.

"Udah bangun, Wa?" sapaan Rifki dengan vokal sedikit kencang.

"Iya!"

Oh ya, Salwa baru teringat hari ini hari kepindahan orang tuanya. Salwa turun ke bawah, membantu membawa beberapa barang untuk dipindahkan ke dalam mobil.

"Mau ditinggalin motor atau mobil?" tawar bunda sembari melipat beberapa baju ke dalam tas.

"Emangnya mobil gak dipake?"

"Ayah pake mobil kantor," sambar Rifki ikut nimbrung dan duduk di sebelah istrinya.

Salwa tampak berpikir sebentar. Lalu menganggukkan kepalanya. "Mobil aja deh."

"Oke, dua-duanya ayah taro di sini aja," putus Rifki.

"Dih," cibir Salwa memutar bola mata malas, sedangkan bunda Sari hanya tertawa pelan.

Salwa pergi ke kamarnya untuk mengambil beberapa peralatan yang sudah ia beli untuk calon adeknya. Dan tak lama ia kembali ke bawah dengan membawa empat buah totebag besar.

"Nih, buat adek."

"Makasih, teteh," sahut Sari dengan suara menyerupai anak kecil.

"Gak mau teteh, ah!"

"Terus apa dong?" tanya Sari.

"Browa aja, bun," sambar Rifki.

Salwa menyernyit bingung. "Apaan tuh?"

"Bro Awa," jawab Rifki dengan tawa terbahak-bahak, Sari yang melihat suaminya tertawapun ikut tertawa.

Salwa berdecak, mengamati kedua orang tua itu secara bergantian. Namun di dalam hati, Salwa merasa sedikit sedih, dia pasti akan rindu suasana seperti ini. Bercengkrama, tertawa bersama.

Bunda Sari yang menyadari tatapan sendu Salwa langsung menghentikan tawanya dan mencubit suaminya itu agar berhenti tertawa juga.

"Makan dulu yuk," ajak Sari.

"Nanti deh, bun. Masih kenyang," jawab Salwa.

"Semalem emang kamu makan? Itu makanan masih penuh."

"Kemaren kamu abis darimana?" tanya Rifki ketika tawanya mulai mereda.

Gerakan Salwa yang sedang memasukkan totebag ke dalam kardus terhenti. Dia menunduk, enggan membalas tatapan sang ayah.

"Ayah lagi nanya sama kamu!" nada tegas Rifki mulai mendominasi.

Bunda Sari menggelengkan kepalanya. Suasana yang tadinya hangat dengan cepat berubah menjadi dingin karena pertanyaan singkat sang ayah.

"Ayah nungguin kamu daritadi, kirain mau ngomong jujur. Ternyata tetep diem."

Rifki mengusap wajahnya kasar.

"Minimarket."

"Ngapain? Kamu gak liat cuacanya lagi kaya gitu? Harusnya kamu udah mulai bisa jaga diri, Awa. Jangan sampe kalo pas ayah sama bunda enggak ada kamu malah ngebahayain diri kamu sendiri!"

"Maaf." Hanya itu kata yang dapat keluar dari mulut Salwa.

Rifki menghela napas kasar, menepuk pelan pucuk kepala anaknya. "Ayah gak marah, cuma khawatir. Awa harus tau kondisi ya? Nanti besok-besok kalo kamu tetep nekat siapa yang bakal jagain Awa di sini?"

"Maafin Awa, yah, bun."

•••

Matahari tepat terik-teriknya, Salwa memeluk bundanya erat. Semua barang sudah dimasukan ke dalam mobil dengan aman.

"Jaga kesehatan ya anak bunda."

"Iya, hati-hati, yah."

"Hati-hati, om, tante."

"Dah."

Salwa melambaikan tangannya, begitu juga dengan penghuni kos yang lain yang ikut memberikan salam perpisahan kepada pemilik kos. Nino memperhatikan wajah sendu Salwa yang sangat ketara dari samping, dia menunduk.

Jeda beberapa menit hingga mobil yang ditumpangi orang tua Salwa menjauh dari jagkauan mata.

Mungkin dia akan merasakan sesuatu yang bernama sepi.

Jessika menarik tangan Nino, membuat Nino terpekik kaget. Salwa dan Gery pun sama kagetnya saat mendengar pekikkan Nino.

"Jessika tolong lepasin tangan saya."

"Kenapa? Ayok kita makan cake."

Suara mereka terdengar samar di pendengaran Salwa yang masih berdiam diri di tempatnya.

Gery menepuk pelan pundak Salwa membuat sang empu menoleh. "Ayok, ke kosan dulu aja. Di rumah pasti sepi," ajak Gery.

"Gak usah, thank you."

"Kita makan cake dulu, ayok ke dalem."

Salwa yang baru saja melangkah, tiba-tiba berhenti dan membalikkan badannya menghadap Gery.

"Cake?" beo Salwa.

"Iya."

Dan di detik itu juga mereka menyadari sesuatu. Sesuatu dengan pandangan berbeda.

Salwa terkekeh miris hingga air matanya keluar meski hanya satu tetes. "Hahaha."

"Sal, lo kem—."

"Udah ya, Ger. Gue masih ada kerjaan di rumah. Thank you tawaran Cakenya, kalian abisin aja."

Baru berjalan satu langkah Salwa kembali berbalik. "Atau kalau emang masih sisa banyak, kasih aja ke yang lagi ulang tahun."

Kali ini Salwa benar-benar pergi, sama sekali tidak menoleh lagi. Gery mengusap wajahnya kasar, dia harus berbicara dengan Jessika. Karena satu hal yang sangat Gery amat sayangkan, sebelumnya Jessika tidak pernah berbohong kepada dirinya.

⏮️▶️⏭️

TBC.

15 Mei
-Riy💐

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang