Bagian 19

8 1 0
                                    

19. Sebuah Rahasia

Langit Bandung pukul tiga sore ini tampak begitu menawan, selepas hujan lebat yang mulai reda sejak tiga puluh menit lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit Bandung pukul tiga sore ini tampak begitu menawan, selepas hujan lebat yang mulai reda sejak tiga puluh menit lalu. Gery membuka jendela bercorak polos, aroma tanah menusuk indra penciumannya. Angin segar masuk ke dalam ruangan bernuansa putih dan berhambur dengan bau khas obat-obatan.

Benar. Sejak menemukan Salwa di tribun, Gery tetap di sini. Menemani Salwa yang sejak tiga jam lalu belum membuka matanya.

Sebenarnya bisa saja Gery meninggalkan Salwa, karena di klinik ini terdapat dokter penjaga. Namun, entahlah. Rasa penasaran dan khawatir bercampur menjadi satu dari lubuk hatinya.

Jemarinya bergerak lincah membalas pesan Dio—teman barunya dan juga Jessika yang menanyakan keberadaannya.

Gery Dharmendra
Kepo deh
Lo nnti pulng dluan aja ya Je?

Jessika Karina
Ok, lo emng kmna sih?

Gery Dharmendra
Gk kmna mna

Tanpa alasan yang pasti, Gery memilih untuk tidak memberi tahu keberadaannya sekarang. Jemarinya menekan tombol kembali dan beralih pada menu pencarian.

Alprazolam.

Penjelasan dokter dengan keterangan obat yang ia temukan memiliki keterkaitan. Gery menatap muka pucat Salwa, dokter bilang seharusnya sudah satu jam yang lalu Salwa sadar namun kenapa gadis itu masih memejamkan matanya.

"Ini orang sekalian tidur kali ya," dengus Gery.

Ting!

Dio Junito
Gw dh di dpan ger

Melihat notifikasi itu, Gery segera beranjak dari duduknya. Sebelumnya memang Gery meminta teman barunya itu untuk datang menghampirinya dengan membawa makanan. Tentu saja Gery lapar!

Suara langkah kaki terdengar menjauh bersamaan dengan suara pintu yang menjerit tertutup. Sepasang mata yang semula terpejam perlahan kembali terbuka. Hembusan angin yang membawa aroma tanah menyambutnya, menerbangkan poni tipis yang menutup matanya.

Dengan kekuatan yang sudah terkumpul, Salwa melirik jam di dinding dan mendudukan tubuhnya. Sebenarnya dia sudah terbangun sejak satu jam yang lalu, hanya saja dia tak ada tenaga untuk membuka matanya dan untuk menjawab pertanyaan Gery. Salwa tau penyewa kosnya itu pasti memiliki beberapa pertanyaan terhadapnya. Karena Gery beranjak keluar, tentu Salwa bernapas lega.

Tangannya meraba saku bajunya, tak menemukan ponsel. Pandanganya mengedar pada nakas. Tasnya berada di sana. Dengan perlahan, tangannya terulur. Puluhan notifikasi terpampang pada layar ponsel.

Senyum lemah terpatri, sebuah panggilan masuk. Jarinya menekan tombol berwarna hijau, dan menempelkan ponselnya pada telinga.

"Awa, kamu udah mendingan sayang?"

"Udah, bunda."

"Alhamdulillah, sayang. Bunda khawatir kamu belum bales chat bunda. Kamu udah makan? Sekarang masih di klinik?"

"Iya bunda, masih di sini."

Terdengar helaan napas di ujung sana. "Maaf ya, bunda enggak ada di sana nemenin Awa."

Salwa mengalihkan pandanganya, menatap pepohonan di balik jendela. "Enggak apa-apa kok. Awa... udah enakan juga."

"Habis ini kamu makan ya. Nanti bunda suruh abang kamu biar cepet pulang deh!"

Mendengar itu Salwa tertawa kecil. Pandanganya teralihkan pada pintu yang berderit. Gery muncul di sana, berdiri kaku menatap Salwa yang juga tengah menatapnya.

"Udah dulu ya, bunda. Nanti Awa kabarin kalo udah sampe rumah."

Setelah panggilan itu terputus, Gery melangkahkan mendekat.

"Kayaknya dokter lag—."

"Lo mau makan apa?" potong Gery.

"Gue gak laper."

Jeda seperkian detik. Salwa segera merapikan pakaiannya.

"Lo mau langsung pulang?" tanya Gery pelan.

"Iya."

"Bareng sama gue!"

"Eng—."

"Eh, kamu sudah bangun?" Suara wanita setengah baya dengan jas putihnya menghentikan perdebatan kecil mereka.

Dokter yang ber-nametag Liliyana itu kembali memasang stetoskop pada lehernya. Memegang telapak tangan Salwa.

"Sudah mendingankan?" tanyanya yang diangguki Salwa.

Dokter Liliyana mengangguk pelan sambil tersenyum, "baik kalau gitu. Pulang bareng dia ya? Katanya dia pacar kamu."

Mendengar kalimat terakhir sang dokter, mata Salwa membulat sempurna. Ingin mengumpati orang yang di belakang sana sedang tertawa kecil. Hingga pada akhirnya, Salwa hanya mengangguk mengiakan.

Melihat itu Gery lekas bergegas membantu Salwa. Setelah semua sudah siap, mereka keluar dari klinik universitas tepat pukul empat sore.

"Sorry. Gue bilang ke dokternya gue pacar lo," ujar Gery memecah keheningan di dalam mobil ber-AC itu. Mobil putih milik Salwa.

Di samping kemudi, Salwa memejamkan matanya. Bibirnya ingin membuka namun rasanya terlalu kelu.

"Beli makan dulu mau?"

"Gak usah."

"Lo belum makan, Salwa."

Salwa membuka matanya. "Lo bisa lupain yang lo liat dan lo dengar hari ini?!"

Mendengar itu Gery melirik sekilas, tau kemana arah pembicaraan ini. "Kenapa harus?"

"Karena itu masalah gue. Lo gak usah ikut campur apa-apa."

"Lo kayaknya harus makan dulu." Gery menghentikan mobilnya pada gerai bubur ayam.

"Gue lagi ngomong serius, Gery. Enggak ada orang yang tau soal masalah ini. Jadi, gue minta sama lo buat lupain semua yang lo tau."

"Oke. Tapi gue punya pertanyaan."

"Apa?"

"Sejak kapan?"

Salwa menipiskan bibirnya, membuang arah pada penjual bubur yang sedang melayani pelanggannya.

"Waktu gue umur delapan tahun."

Terlihat Gery menganggukkan kepalanya, dengan gerakan pelan Gery membuka pintu mobil. "Sebentar, gue mesen bubur dulu."

Gery berlari kecil menghampiri penjual bubur. "Mang, bubur 1 bungkus gak usah pake kacang ya."

Setelah itu Gery mendudukan bokongnya pada kursi plastik berwarna hijau. Sengaja, dia ingin memberikan Salwa waktu untuk sendiri di dalam mobil sana.

Namun, tampaknya pertanyaan yang terucap dari mulutnya tadi akan menyebabkan penyesalan di kemudian hari. Karena dia, bukanlah sosok yang dapat mengendalikan perasaannya.

⏮️▶️⏭️

TBC.

28 Januari
-Riy🌻

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang