PROLOG

4.2K 145 5
                                    

Paris, New York 2015. Kupandangi Jam besar yang terjulang tinggi kelangit. Awan cerah menyilaukan pandangan siapa saja yang menentang menghadapnya. Tak banyak orang yang berani menemani bangunan yang menjulang tinggi itu. Kecuali, Aku. Wanita malas yang hanya duduk di bawah rimbunan pohon untuk berlindung. Tidak perlu menantang awan untuk terlihat hebat. Cukup nyamankan dirimu agar terlihat luar biasa.

Tumpukan Novel-novel fiksi dan romance bertumpuk di atas perutku. Mencoba menahan rasa nyeri karena lapar. Mungkin, dengan cara menekan di bagian perut bisa menunda rasa lapar.

"Aaarg" Sungguh, aku sangat lapar sekarang. Berbaring berjam-jam di bawah langit Paris. New York sambil memandang Jam besar itu bikin kepalaku dan perutku kosong. "Bagaimana bisa?" Tanyaku melihat sisa uang yang kurogo dari saku celana. "Tinggal segini?" Masih bertanya tak percaya. "Perasaan kemaren masih banyak deh," Aku masih juga tak percaya. Kenapa bisa secepat ini. Padahal aku hanya makan satu kali sehari, dan itupun hanya Sandwich.

"Mana cukup." Pikirku menggaruk tengkuk yang memang gatal karena rumput hijau. Aku duduk menegakkan punggungku. Merenggangkan sendi-sendi leher dan jari-jari. Melirik dua Novel yang aku jadikan tumpuan kepalaku untuk berbaring. "Coba deh." Menarik dua Novel itu dan menyatukannya ketumpukan yang lain. Sambil tersenyum geli aku berbaring kembali, menarik dan meletakan tumpukan Novel tadi keatas perut. "Lumayan, sampe siang nanti." Pikir ku menutup mata.

Hampir saja rasa perih perut ini menghilang, dan mata ini terlelap. Tiba-tiba hidungku mengendus aroma yang membuat perut kurang ajar ini berbunyi mengerihkan. Mataku yang tadinya berkerut karena cahaya kini rileks karena awan yang menutupi cahaya itu.

"Sejak kapan_, seorang pencinta Prosa lapar makanan?" Benarkan, kecuali ada seseorang yang datang menghalangi cahaya itu. Mataku perlahan terbuka. Menatap seseorang yang berdiri di atasku. Menatap dengan senyuman bahkan tawa menggelikan saat ia menatap ku yang berada di bawahnya. "Apa selapar itu sampe 15 buku ditumpuk menjadi satu? Biasanya juga cuman 5 buku sampe aku datang." jelasnya sambil melangkah membantuku untuk duduk.

"Aku hanya lelah." Jelasku bohong sambil menggaruk alisku yang jelas tidak gatal.

"Kemaren tidak makan emangnya? "

"ehmm" Jawabku malu.

"Katanya karena lelah." Serunya yang ikut duduk di sampingku. Meletakan beberapa kotak makanan yang terbungkus.

"Waah." mataku berbinar, bahkan hampir meneteskan airmata. Tepat waktu.

"Bagaimana bisa kamu tidak makan dari kemarin." Dia mengelus bahuku, tapi wajahnya marah menatapku yang cengengesan tersenyum.

"Aku puasa."

"Helehh. "

"Iya, aku puasa."

"Baiklah." Jawabnya sembari menarik kotak makanan yang hampir saja pembungkusnya terbuka.

"Kamaren, sekarang enggak" Seruku menarik kembali dengan malu-malu kotak makan imut dengan motif bunga sakura.

"Dasar!" Jawabnya cukup kuat ketelinga.

Aku sangat bersyukur berkat Bianca. Selalu ada saat aku kelaparan. Teman terbaik diantar manusia yang ada. "Kamu makan saja. Aku angkat telpon sebentar." Sama halnya seperti yang aku katakan, Bianca adalah manusia terbaik.

Dia menjauh dariku, berbisik ditelponnya sambil memandangku tersenyum. Mungkin pikirnya aku teramat lucu dengan ekspresi berbinar mendapatkan makanan. Jika Bianca memandangku lucu maka aku memandang diriku memalukan.

"Kamu bilang seorang penulis Prosa tidak butuh makan," Dia duduk menyila dihadapanku. wajahnya menyunggingkan senyuman menyinggung. "Kamu bilang mereka hanya butuh kata-kata untuk tetap kenyang."

"Jika kamu memaknainya sebagai seorang yang tidak perlu makan.," Ucapanku berhenti, memandangnya sejenak sebelum melanjutkan kata-kataku. "Kamu salah, Bi."

"Jadi maknanya apa? "

"Kamu harus jadi penulis Puisi dulu baru tahu jawababnya." Kekehku mendapatkan dirinya mengerutkan kening.

"Aku gak mau seperti kamu. Hanya duduk menyendiri dengan tumpukan buku-buku itu. " Senyumnya sambil mengunyah makanan yang baru saja ia rebut dari tanganku.

"Aku gak sendiri," Aku berhenti sejenak mendapatkan dia juga minum dengan sedotan yang sama denganku. "Aku bersama mereka." Mataku melirik kearah tumpukan Novel.

"Itu namanya sendiri jika kamu berada diantara benda mati."

"Meski begitu aku tetap berada dipringkat Mahasiswa dengan prestasi membanggakan." Bianca tertawa melihatku menyombongkan diri padanya. Sebab-

"Tidak lebih dariku, kan? "

"Iya sih, tapi dibandingkan sama mereka-mereka" Pandangan kami mengarah ke beberapa Masiswa yang berjalan kearah kami.

"Hufft." Bianca membuang nafas dengan kasar. Lelah, dia terlihat lesu. Tapi bibirnya masih tersenyum manis kearah Mahasiswa itu.

"Selamat Bekerja keras, Bianca" Ucapku mengejek. Walau sebenarnya aku menyesal mengatakan padanya. Seharusnya aku tidak memberi tahu Bianca jika Mahasiswa itu mencarinya sedari tadi. Bukankah seharusnya aku diam-diam saja, lalu menariknya menjauh dari mereka?

"Makan yang banyak," Bianca berdiri. "Oh iya, nanti sore tunggu aku. Kita pulang bareng. "

"Oke"

"Aku tak percaya padamu." Bibirnya mangerut. "Kamu selalu saja meng-Oke kan ajakanku. Tapi tak pernah menepatinya."

"Hehehe, Aku Lup-a." Jawabku dengan sendok yang masih di dalam mulut. Bianca tersenyum. Ku amati punggungnya yang semakin menjauh.

Bianca Laras Pramono, wanita teramat manis untuk dianggap Cantik, dia teramat Cantik untuk dianggap Manis. Sempurna, senyumku memudar seiring dia tak terlihat. Selalu saja ada yang mengganggu kami saat berdua. Bianca terlalu sibuk dengan urusan Kampus. Menjadi Asisten Dosen memang sangat melelahkan. Mengurusi segala keperluan Dosen dalam seminar. Tapi begitupun Bianca tetap terlihat Bahagia dengan rutinitasnya. Kadang ia harus pulang tengah malam untuk meladeni beberapa mahasiswa yang ingin berdiskusi prihal Penelitian. Alasanku jelas bukan kenapa aku tak ingin berdua bersamanya? Dia terlalu sibuk hanya untuk sekedar berjalan denganku. Terlalu banyak hal yang lebih penting dibanding denganku. Namun, dia tetap menjadikanku sebagai teman TER-KASIH.

kasih-an,


****

PENTING !

Cerita ini pernah di publish tahun 2018 dengan judul yang sama, namun dalam versi one shot. Jadi bagi kalian yang pernah baca mungkin akan mengira ini plagiat. Tenang saja, ini adalah author yang sama dengan yang dulu.

Cerita ini akan dibuat versi Fiksi dan selesai dengan 30 Chapter atau lebih.

Percayalah cerita ini sudah selesai dalam bentuk E-Book.

Dan akan saya publish di wattpad secara gratis (untuk di awal).

Selamat membaca.

COMPLICATED  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang