CHAPTER 2

1.1K 110 3
                                    

Hujan turun begitu deras pagi ini. Aku duduk termenung menghadap kaca besar. Menghitung setiap hujan yang turun. Meski pun takkan terhitung, tapi setidaknya aku tidak bosan. Tidak ada aktivitas, Novel-novel ku sudah habis ku baca semua, perpustakaan tidak akan buka hari libur seperti ini. Hufft, sepi nya.

Masih pagi, apa yang harus aku lakukan selain bermalas-malasan. Aku berdiri lalu berjalan ke pentri, mengambil segelas air putih lalu kembali berjalan ke kamar. Duduk bersila menghadap leptop lalu dengan malas aku menekan tombol On. Senyum ku mengembang melihat foto yang muncul dari layar leptop. Foto manis yang takkan kulupakan. Bianca, Aku jadi ingat wanita itu. Sedang apa dia di jam se gini ? Apa masih sibuk dengan penelitian? Dia terlalu keras dalam hal apa pun.

Lamunan ku buyar ketika mendengar suara bel berbunyi berulang kali. Dengan cekatan aku berlari membuka pintu. "Sebentar, " jerit ku dari kejauhan. Biasanya yang datang jam segini hanya tukang sampah atau pengantar susu langganan ku. Tapi ini kan hujan, mana mungkin mereka bekerja. Mending tidur di rumah, toh tidak akan mengurangi pelanggan.

"Zesyu, "

"Bianca? " Wajahnya pucat. Tangan dan bibirnya menggigil, dia datang dengan selimut tebal yang melilit tubuh kurus nya. Rambutnya berantakan.

Dengan sigap aku memapa tubuhnya untuk masuk ke dalam. Dengan hati-hati ia melangkah. Badannya dingin seperti daging yang baru keluar dari lemari es. "Kamu demam?" Tanyaku sambil membaringkannya di tempat tidur. Me-ngechek kening nya dengan lembut. Tidak panas sih, tapi dia kedinginan.

"Zes," Suaranya lirih memanggil ku. Ada sedikit kilasan kesedihan di matanya yang selalu memikat ku. Matanya yang berwarnah batu Rubi selalu bisa membius ku tanpa kata. Jika teman-temanku memanggil ku dengan nama belakang, beda dengan Bianca. Dia selalu punya cara sendiri untuk berbeda dengan yang lain.

"Iya," Tanyaku menyadarkan lamunan.

"Aku rindu kamu,"

Sudah hampir sebulan lebih aku dan Bianca tidak bertemu. Karena kesibukan nya sebagai asisten Dosen dan mahasiswa satu-satunya yang ikut dalam penelitian para Profesor di kampus membuatnya tidak pernah terlihat akhir-akhir ini. Meski kami tinggal di gedung yang sama, tapi aku tidak pernah melihatnya. Dia yang selalu pulang malam dan aku yang tidak jelas kapan pulangnya. Memandangi pintu Apartemen nya yang terkadang tidak ada cahaya membuat ku harus bersedih. Ketika ia di dalam pun aku tak berani mengetuk pintunya.

Aku juga rindu, Bi.

"Mau aku belikan obat? atau kita ke rumah sakit, ya?" Tanyaku dengan tulus.

"Emang kamu punya uang?"

"Punya," Apa Aku terlihat sangat miskin di depannya? meski pun aku irit dalam makan, bukan berarti aku tidak punya tabungan.

"Tidak usah, aku baik-baik saja." Bianca menarik tanganku, menggenggam dengan kedua tangannya. Ku pandangi matanya yang bercahaya keemasan. "Aku hanya ingin melihat mu." Bianca benar, kami dekat tapi sangat sulit untuk di gapai. Kami tak memiliki jarak apa pun tapi entah mengapa seperti ada dinding tinggi menjulang membatasi pandangan kami. Hanya sekadar memandang senyuman nya saja sangat sulit.

"Mama besok datang ke sini."

Alis ku tertaut, pandanganku tertuju pada satu gerakan mata Bianca. Seperti tak menginginkan apa yang ia ucapkan. Bianca menutup matanya sejenak mencoba meyakinkan apa yang ia ucapkan. Dia adalah wanita yang selalu ceria di mana pun dan kapan pun. Hanya ada satu kecemasan yang membuat ia ter tunduk. Ibu nya

"oh ya?" Tanyaku dengan mata berbinar. Meski pun sebenarnya aku berdusta. Apa bedanya aku dengan Bianca, kami sama-sama memiliki kecemasan yang sama untuk satu alasan. "Ada acara apa Mama kamu ke sini?"

COMPLICATED  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang