2 minggu setelah kejadian perpus, aku benar-benar hilang kontak dengan Shani.
Seperti awal mula putus, kami tak saling mencari. Aku pun tak berusaha untuk terlihat dalam jarak pandangnya hanya demi memberi Shani waktu.
Aku sadar, semakin aku berusaha mendekat, Shani semakin tidak nyaman. Entah memang karena kami sudah tak sejalan, atau mungkin karena situasi dan perasaan kami yang tak lagi sama.
Jangan menuduhku sudah tidak lagi sayang! Aku selalu sayang! Cinta mati! Aku tidak pernah ingin putus, Shani yang mau! Aku bisa apa selain menurut? Bukannya menjalani hubungan sendirian itu menyakitkan?
Aku tidak mau Shani sakit.
Kalau pun sikapku salah, bukankah seharusnya aku merenung dan berpikir? Di mana dan bagaimana seharusnya sikapku terhadap Shani dan orang-orang disekitarku termasuk Anin?
Anin lagi,
Lelah menjelaskan.
Kalau saja boleh jujur. Saat ini aku hanya sedang mencoba berdamai dengan penyebab utama aku dan Shani putus. Memangnya salah kalau aku berusaha bersikap baik-baik saja? Tanpa harus melukai orang lain lagi, aku tidak ingin membicarakan yang lalu pada Anin.Anggaplah saat itu, kami memang hilaf. Semua diluar kendali. Tak perlu lagi dilebih-lebihkan, tak perlu diungkit, aku hanya tidak ingin terus terbayang dengan rasa bersalahku sendiri.
Dan kalau Shani belum bisa mengerti keadaannya, tidak apa-apa. Aku paham. Itu sebabnya aku memutuskan untuk kembali memberi jarak di antara kami. Setidaknya sampai hati kami kembali siap menerima masing-masing.
"Gre? Halooooooo... Graciaaaaa!" Buyar sudah lamunanku. Sisca yang sedang melambai-lambaikan tangannya di depanku itu pun mendengus melipat kedua tangan di dada. Mungkin kesal karena tidak diperhatikan. "Ngelamun lo, ya?"
"Dikit."
"Kerkom gimana? Mau di mana? Yang lain nungguin."
"Yang lain gimana?"
"Udah ketebak banget, lo pasti jawab gitu." Ucapnya sambil manggut-manggut. Kelas baru saja usai, namun ruangan belum begitu sepi setelah pembagian kelompok untuk tugas tadi. Sejujurnya aku sama sekali tak menyimak materi perkuliahan siang hari ini, terlalu sibuk rindu, sampai-sampai scroll chat lama Shani yang begitu menyenangkan dibaca. Tak seperti sekarang.
"Hari ini?"
"Iya. Biar cepet selesai. Di tempat Sisca aja deh kalo gitu, ya?" Ashel, salah satu dari lima orang yang tergabung dengan kelompok kami ikut bersuara. "Mumpung pulang siang, mumpung pada bisa juga."
"Boleh. Gimana, Gre?"
"Nggak di kampus aja?"
"Di tempat gue ada AC-nya! Di kampus panaas!" Keluhnya sambil meraih totebag dari atas meja.
"Yuk!"
*****
Sesampainya di rumah Sisca, kami membagi tugas. Tiga orang mencari materi, sisanya mengolah data dan membuat rangkuman. Sebelum akhirnya materi siap dipindahkan untuk dipresentasikan minggu depan.
Aku tahu seharusnya saat ini aku ikut sibuk mencari materi bersama yang lain. Tetapi telingaku tidak sengaja mendengar percakapan Ashel dan Flo, tentang Shani.
"Shani anak ikom, 'kan?"
"Iya."
"Kok bisa?" Flo menggeleng, tubuhnya lebih dimajukan hingga bibirnya tepat berada di dekat telinga Ashel saat ini. Membisikan sesuatu yang tak bisa kudengar, yang kemudian direspon dengan 'Hah?' oleh Ashel.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTUS
Fanfiction"Kita putus itu, artinya kita nggak baik-baik aja. Ngapain abis putus malah jadi berhubungan baik?"