"Putus ajalah!"
"Oke."
"Oke???"
Dalam empat tahun terakhir, baru kali ini kata itu keluar. Wajahnya yang merah padam, napas yang tak beraturan, setetes air mata yang baru saja melewati pipinya. Aku tahu bahwa saat ini, adalah puncak masalah bagiku dan Shani.
Maksudku,
Kami memang kadang bertengkar.
Tapi tak pernah sehebat ini. Di atas motor menuju jalan pulang, suaranya yang lembut tiba-tiba saja meninggi, memintaku untuk menghentikan laju kemudian menepi."Kalo itu emang yang kamu mau, oke. Aku ikutin." Jujur saja, aku kehabisan akal. Kalau memang putus adalah satu-satunya jalan keluar, aku tinggal menurut.
Padahal kalau boleh jujur, rasanya ingin menangis keras-keras.
"Kita sama-sama cape!"
Iya." Masih kugenggam sebelah tangannya. Mengusap buku-buku jemarinya, dengan lembut. Inginku lebih, memeluk mungkin? Menenangkan perasaannya seperti yang biasa kulakukan. Tetapi saat ini, aku pikir hanya ini yang bisa aku lakukan.
Semuanya seperti mati rasa. Entah perasaanku, atau Shani. Sakit? Iya! Tapi melihatnya yang sekarang, jauh lebih menyakitkan.
Aku tahu mungkin Shani ingin aku menolak. Tetapi melanjutkan hubungan dengan perasaan yang seperti ini, aku tidak mau! Kita butuh waktu untuk masing-masing. Jika memang itu bisa membuat perasaan kami lebih baik. "Tapi aku anter pulang, ya." Lanjutku, berusaha untuk mencairkan suasana.
"Nggak usah. Pisah di sini aja."
"Mau pulang pake apa?"
"Ojek online banyak."
"Bahaya. Aku nggak ijinin."
"Kan udah putus. Ngapain perlu ijin?" Mendengar suara acuhnya, melihat raut wajah bencinya, membuatku tak bisa percaya. Perempuan lembut yang selalu memberikan senyum paling manis itu menghilang. Aku kehilangan Shani.
"Buat yang terakhir."
"Emangnya mau mati?"
"Who knows."
"Gre!"
"Takdir mana ada yang tau sih, Shan. Sama kayak sekarang, aku nggak tau kalo kita bakalan selesai hari ini."
*****
"Oi! Gre!"
"Sis..."
"Tumben banget? Akhir-akhir ini gue perhatiin abis selesai kelas gak langsung kabur? Biasanyaaaaa... Gue ngoceh panjang kali lebar dicuekin gara-gara sibuk sama hape. Atau dosen belom sampe pintu lo udah ngibrit lari duluan."
"Belum beli lauk buat makan."
"Hah???" Sisca mengambil posisi duduk di depanku. Memperhatikan secara seksama sambil menggaruk rambutnya dengan jari telunjuk. "Ngaco' gak nyambung lo!"
"Eh?" Serius. Tadi Sisca bicara apa? "Emang ngomong apa?"
"Gue ngomong, nggak nyamperin Shani?" Senyum datar ku perlihatkan karena tak bisa menjawab. Andai bisa dan boleh, rasanya ingin begitu. Ingin berlari menuju kelas Shani, ingin bertemu, ingin menghabiskan waktu berdua.
Sebulan sudah, aku rindu.
"Putus."
"HAH??? KOK BISA?!!" Suaranya yang meninggi berhasil mengejutkanku. Dan beberapa mahasiswa yang masih tertinggal di kelas. "Sorry! Sumpah beneran kaget. Kok bisa!!!"
"Balik yuk! Cape banget rasanya. Pengen buru-buru istirahat."
"Nebeng dong! Sampe tempat fotocopy!"

KAMU SEDANG MEMBACA
PUTUS
Fanfiction"Kita putus itu, artinya kita nggak baik-baik aja. Ngapain abis putus malah jadi berhubungan baik?"