1

1K 147 18
                                    

"Ge!!!"

"Ge??" Kedua alisnya bertaut. Shani yakin ia tak salah dengar, Jingga baru saja mengucap satu nama yang tak asing di telinga.

Dari kerumunan orang di lorong ruang tunggu bioskop, seorang perempuan terlihat melambaikan tangan ke arah mereka yang telah menunggu di depan pintu teater 3. Pantas saja Jingga bilang ada satu orang lagi yang akan ikut.


Ternyata si mantan.


"Lama banget ih!"

"Mampir wc dulu tadi." Curi pandang mata ditunjukan untuk perempuan yang dibalut kemeja putih di depannya. Terlihat menunduk memperhatikan sepatu hingga poni tipisnya menggantung menggemaskan.

"Langsung masuk, yuk!" Feni merangkul Jingga terlebih dahulu untuk masuk setelah memberikan tiket pada seorang ticketing. Sementara sisanya mengekor dengan canggung, saling tak berani menatap meski wangi parfum mereka berdua sudah lebih dulu lancang menusuk indera penciuman. Merindu sembarangan!

"Upssss!" Jingga dan Feni menatap kedatangan mereka dengan wajahnya yang berpura-pura terkejut. Bagaimana tidak? Mereka sengaja mengosongkan dua bangku di bagian pojok seolah ini adalah skenario yang sengaja dibuat.

"Males deh, Fen! Tuker!" Keluh Shani.

Gracia mulai berpikir, bahwa acara hari ini hanya akal-akalan Jingga dan Feni saja. Jika boleh jujur, tujuannya bersedia hadir hari ini, ya karena Jingga berkata bahwa Shani tahu tentang kehadirannya.

Tetapi setelah mendengar protesnya pada Feni, seharusnya ia melanjutkan sisa tidur yang tertunda saja tadi.

"Udah nempel, Shan. Udah sih, di situ aja!"

"Pindah atau gue keluar?"

"Gue aja. Sorry, ya." Gre mengambil alih komando dengan senyum tipisnya.


Sreeeett...


Baru selangkah kakinya menuruni anak tangga, kain lengan kardigannya ditarik cukup kuat hingga si empunya tertahan dan menoleh.

Tak menatap,
Cenderung membuang pandangan.
Disaksikan pemeran pendukung yang saling menyikut halus menyembunyikan senyum. Padahal film di layar lebar itu belum mulai, tapi rasa-rasanya mereka sedang menyaksikan penggalan klimaks dari apa yang mereka tunggu-tunggu.

"Udah sih, udah terlanjur dateng ke sini, malah pergi lagi?"

Gre memperhatikan tubuh sampingnya. Sesuatu yang selalu menjadi sandaran ternyaman untuk seluruh keluh kesah serta berita bahagianya.

Terlepas sudah genggaman pada kardigan. Shani dengan acuh berjalan melewati Feni dan Jingga untuk duduk di bagian kursi paling pojok yang masih kosong. Mulai menyandarkan punggung, melipat tangan di depan dada sambil menyilangkan kaki.

"Gre! Duduk ih mau mulai!" Protes Jingga sambil memberi kode dengan mata agar Gracia segera duduk.


Sikap!
Gracia tidak akan duduk sebelum...


Oke.
Gracia buru-buru berjalan melewati Jingga dan Feni untuk menduduki kursi kosong yang tersisa setelah lirikan ujung mata Shani tertangkap pandangannya.



*****



Perang batin sesungguhnya baru saja dimulai sekarang. Duduk bersebelahan selagi film diputar, situasi lampu bioskop yang redup dan pendingin ruangan yang menusuki kulit, seharusnya menjadi situasi favorit.

Pikiran mereka mengawang, mengingat bagaimana biasanya, disaat-saat seperti ini, kedua jemari tangan mereka saling bertaut. Selalu, dengan manjanya kepala Gre mencari letak ternyaman diantara caruk leher perempuan di sampingnya sambil mengomentari segala apapun yang terjadi dalam film.

PUTUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang