:: 00 : PROLOGUE ::

1.8K 101 10
                                    

"Bunda udah buat keputusan. Minggu depan kalian bunda kirim ke asrama."

Ketiga lelaki yang tengah duduk di atas sofa itu membelalak menatap wanita bersurai gelap yang tak lain adalah bundanya. Salah satunya hampir saja terjungkal ke belakang saking terkejutnya. Ah, pantas saja saat mendapatkan invitasi tadi perasaannya sudah tidak enak, ternyata ada juntrungan bersimbur di sini.

"Hah?" Si bungsu hanya bisa memberikan respons demikian dengan mulut yang sedikit terbuka.

Lain halnya respons si sulung yang berupa tatapan sengit menentang terang-terangan sang bunda yang dengan tenang duduk sembari melipat kedua tangannya. Hatinya mendadak meradang.

"Apaan sih? Nggak, aku nggak mau."

Sebelahnya alisnya terangkat. Tahu dan sangat tahu respons yang akan diberikan putra sulungnya, namun wanita itu memilih abai. Dengan gerakan pelan namun tak menampik kesan anggun, Jennifer mulai menyilangkan kakinya di atas lutut, bersiap menerima jawaban yang lebih dari ini.

"Ini udah keputusan bunda."

"Tapi aku nggak mau!" Intonasi ujarannya meninggi mendengar sahutan Jennifer sampai-sampai mengundang hawa menyesak di sekitar ruangan.

Jennifer menghela napas, memijit pelipisnya pelan ketika mendengar seruan anak sulungnya. Memang bukan kali pertama ia berteriak, namun kepala Jennifer masih sering berdenyut acap kali mendengarnya. Seakan dirinya belum terlalu awam membena seruan si sulung, padahal Jennifer juga yang sering mengumpan.

"Jay, jangan bikin bunda tambah pusing."

Kedua netranya menatap Jay, meski Jennifer bisa saja terluka hanya karena tatapan yang diberikan Jay saat ini. Tatapan yang bisa saja menghunus jiwa Jennifer guna mengingatkan pada sosok terlampau, wanita itu seakan diseret ke dunia lampau jika tidak langsung tersadar.

Tidak, tidak seharusnya ia berlarut-larut dengan masa lampau.

Jennifer menelan ludahnya. Menetralkan deru napasnya sembari membenarkan posisi duduk, untuk sesaat ia menjadi risau bersamaan dengan badan yang sedikit condong ke depan.

Menggabungkan kembali keberaniannya yang entah berantah tercecer amblas selepas tatapan Jay beberapa waktu lalu, ia menatap satu persatu darah dagingnya yang masing-masing memiliki pengamatan berbeda terhadapnya.

"Listen to mom...mungkin ini emang terkesan mendadak buat kalian. Tapi asal kalian tau, bunda lakuin ini semua buat kalian, this is a good thing."

"Tapi nggak sampai kita dikirim ke asrama bun. Kebaikan apa kalau gini caranya?" Kata Jay tak percaya dengan keputusan Jennifer yang terlalu mendadak.

"Kalau kalian enggak bunda kirim ke asrama, kalian nggak ada yang jagain, kalian sendiri. Bunda nggak mau."

"Kita udah gede." Sahut si anak tengah. "Kita bukan bocah umur lima tahun lagi yang harus di jagain kemana-mana."

"You don't know, Jake."

"Right, i always don't know what you wants. Bunda selalu maksa kita buat ini itu sampai nggak mikir gimana kondisi kita buat nurutin semua kemauan bunda. Can you stop controlling the flow of our lives?" Kata Jake si anak tengah yang mulai tersulut emosi.

Kusutlah hatinya, rincuhlah pikirannya mendengar ucapan darah dagingnya yang sejak lama ingin tersampaikan. Ucapan yang sudah lama dipendam namun runyam untuk dikeluarkan, Jennifer sukses dibuat kehabisan kata-kata.

Wajahnya tertekuk sendu. "Jake."

"Enggak, aku nggak mau ke asrama." Tolaknya mengalihkan pandangan.

Meski bisa di bilang tindakan Jennifer ini memang ada benarnya, namun tidak untuk pemikiran ketiga saudara kembar tersebut. Jika salah satu alasan Jennifer ingin mengirim mereka ke asrama agar dapat mengembangkan rasa tanggung jawab dan jiwa kepemimpinan sekaligus ada yang menjaga mereka dengan baik, maka pemikiran si kembar cukup singkat. Bundanya ingin melepas tanggung jawab.

Tahu dan sangat tahu, sifat egoisnya tidak pernah hilang terlebih setelah perpecahan itu. Sifat egois itu malah bertambah tinggi, seakan siap meluluh lantakkan si kembar jikalau mereka tidak pandai-pandai melawan. Mereka sadar, bundanya tidak pernah berubah sekacau apapun lingkungannya, bahkan kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya tidak lekas membuat wanita itu berubah alih-alih memperbaiki diri.

"Jay, Jake, Sunghoon...bunda lakuin ini semua demi kalian. Kalian tau selama ini bunda sibuk, nggak sempet berperan sebagai ibu yang baik buat kalian. Bunda cuman pengen kalian hidup dengan baik."

"Cih, alasan klasik." Si tengah menggumam secara terang-terangan.

"Tapi bunda sadar nggak sih? Dengan ngirim kita ke asrama itu juga belum ngebuat bunda berperan sebagai ibu yang baik buat kita." Timpal si bungsu yang sedari tadi hanya diam menyimak.

"Bunda malah kayak nyerahin tanggung jawab bunda sebagai seorang ibu ke orang lain."

Titik lidah si bungsu kembali membungkam Jennifer, sekali lagi ia terempas lantaran sebuah ucapan. Setelah perpisahan dan segala perlakuan Jennifer selama ini, ternyata tidak mudah untuk membujuk mereka. Haruskah ia mempergunakan sistem begar?

"Sunghoon."

"Bunda mau buang kita?" Tanya Jay si sulung dengan sebelah alis terangkat. "Udah capek ngurusin kita?"

Mendapat serangan kembali, Jennifer terkesiap. Kepalanya menggeleng kontan memegang lengan Jay meski tahu lelaki itu akan langsung menepisnya. Acuh tak acuh, Jennifer hanya takut akan pemikiran Jay saat ini, meski tak seratus persen salah.

"No dear, don't think like that. Mommy loves, loves you very much."

"Kalau gitu kenapa bunda mau ngirim kita ke asrama?"

Senyuman manis terukir di paras jelita Jennifer, jejari kurusnya terangkat mengusap halus wajah putra kembarnya satu persatu. Kendatipun Jake bergidik melihat senyuman serta tatapan Jennifer saat ini, namun ia membiarkan wanita itu. Begitu pula dengan Jay yang tidak terlalu suka berkontak fisik dengan orang lain, tetapi juga tidak melarangnya. Perlakuan ini tidak akan terjadi dua kali.

Puas mengusap seraya memandangi ketiga putranya, Jennifer kembali menegakkan tubuh dengan tatapan yang masih terkunci pada mereka satu persatu. Senyumannya semakin lebar serta merta sorot mata meyakinkan menghiasi mimik wajah tersebut.

Serempak perasaan tidak enak menjejal dalam jiwa.

"Karena di asrama itu, kalian bakal nemuin kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang seharusnya kalian dapat dan bunda pengen tau, seberapa jauh kalian bisa bertahan di sana."





































































ASRAMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang