:: 07 : ROOM AND COMPANY FOR JAY ::

508 53 1
                                    

Tubuhnya bertapak buncah di muka pintu, beberapa kali ia menggaruk tengkuk sembari berpikir keras guna memperoleh jawaban absolut namun sialnya bermacam pertanyaan tersebut tak kunjung mendapatkan jalan lepas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tubuhnya bertapak buncah di muka pintu, beberapa kali ia menggaruk tengkuk sembari berpikir keras guna memperoleh jawaban absolut namun sialnya bermacam pertanyaan tersebut tak kunjung mendapatkan jalan lepas.

Sekarang apa yang harus ia lakukan? Masuk ke dalam kemudian bersua dengan lelaki bernama Hueningkai itu atau lebih memilih berputar badan melacak Arianne dan berharap padanya agar mengizinkan untuk tetap satu kamar dengan dua adiknya, ini membingungkan untuk dipilih.

Jay berpikir, untuk alternatif terakhir sepertinya mustahil untuk dipilih karena tidak mungkin Arianne akan memakbulkan pengharapannya ketika sudah terdapat undang-undang yang disebutkan tapi...untuk alternatif pertama Jay juga bingung karena maksudnya, bagaimana cara berinteraksi dengan Kai nanti jika ia saja tidak bisa bahasa isyarat? Itu pasti akan merepotkan.

Demi apapun Jay benci di posisi ini.

"Pikir nanti deh. Sekarang itu yang penting masuk terus tidur." Kata Jay pelan sembari memutar kenop pintu perlahan.

Masa bodoh dengan segala keributan di otaknya saat ini, yang terpenting Jay harus segera masuk untuk tidur.

Melangkah perlahan memasuki kamar barunya, Jay langsung diperlihatkan dengan sosok tubuh yang tengah duduk termangu menatap lurus ke depan.

Jay nyaris terjungkal karena demi apapun Kai seperti hantu, manalah ruangannya sangat menyeramkan dengan cat dinding gelap. Lebih buruk lagi Kai tidak menyadari kehadirannya sekarang.

Lelaki itu terlalu menikmati kesibukan berangan-angan.

Jay kemudian berjalan mendekati ranjang kosong serta merta kembali melirik ke arah Kai yang masih stagnan di posisinya. Oh Tuhan...Hueningkai, wanita mana yang menolak mu? Insiden apa yang baru saja kau arungi? Kenapa sampai seperti ini?






BRUK!!






Tas yang sedari tadi ia pegang dijatuhkan guna menarik perhatian lelaki yang masih larut dalam kegiatannya. Kai merespons, ia terperanjat kecil dengan kedua bola mata yang berkedip beberapa kali.

Lelaki tersebut seperti diseret ke dunia nyata setelah sebelumnya hanyut dalam delusi ciptaan belaka. Oh, mungkin jika terlambat sedikit Kai bisa tenggelam lebih dalam.

"Gue Jay."

Jay membuka mulut guna berbasa-basi saat Kai sedari tadi memandang bingung dirinya. Walaupun Jay ini bukan tipikal orang yang suka berbasa-basi karena menurutnya tindakan tersebut akan sangat memperpanjang waktu.

Ia lebih suka to the point.

Tungkainya berjalan menuju ranjang kosong sebelum mendudukkan dirinya dengan nyaman. Tak lama kemudian ia menelisik Kai dengan pandangan serius ketika lelaki itu hanya diam menatap tanpa gerakan kata yang keluar. Haruskah Jay memanggil Yedam ke sini?

"Bu Arianne nyuruh gue satu kamar sama lo."

Ia bangkit kembali, menata ranjangnya karena ingin segera menjemput alam mimpi. Jay tidak ingin memperpanjang waktu demi obrolan sepihak. Dari pada melakukan itu bukankah lebih baik ia tidur saja? Toh esok pasti akan lebih berat dari hari ini.

Gerakannya terhenti sejenak saat tiba-tiba bahunya ditepuk pelan. Jay yakin itu ulah Kai, memangnya siapa lagi jika bukan dia? Di kamar ini kan hanya ada mereka berdua.

Jay membalikkan badannya, sedikit heran karena tiba-tiba disodorkan kertas dengan tulisan tangan di atasnya tapi, saat menyadari tulisan tersebut bermakna, Jay sadar ini adalah cara Kai berkomunikasi dengannya.




Hai Jay, gue Kai. Makasih banget karena udah mau satu kamar sama gue ya.




Kembali ia memandang Kai. Ada rasa kasihan namun, ada juga rasa bersyukur karena Kai memudahkan semua ini. Jika tahu ada jalan mudah, dia tidak perlu berpikir keras tadi.

"Nggak usah kepedean. Gue terpaksa."

Itu benar, Jay tidak berbohong saat mengatakan semuanya. Itu jujur dari dalam lubuk hatinya, ia tidak melebihkan atau mengurangi setiap kata yang keluar.

"Kalau disuruh milih, gue lebih milih satu kamar sama adik gue. Sayangnya bu Arianne udah bilang gitu jadi gue bisa apa?"

Kai menunduk murung, hatinya sedikit tercubit mendengar penuturan Jay. Kenyataan bahwa semua yang terjadi sekarang adalah paksaan, Kai kecewa.

"Gue mau tidur, tolong jangan ganggu gue."

Jay membalikkan tubuhnya menghadap ranjang sebelum menghembuskan napas pelan sembari memejamkan matanya. Mungkin perkataannya terlampau kasar hingga membuat wajah Kai bersalin murung namun, jujur saja yang Jay bicarakan bukanlah kebohongan belaka.  Nada bicaranya juga sudah ia atur sebaik mungkin akan tetapi, usaha itu tetap saja menyakiti hati lawan bicaranya.

"Makasih karena lo udah mau berbagi kamar sama gue." Kata Jay pelan lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Kata maafnya tetelan di dasar kerongkongan.

Kai mendongak kembali, ia mengembalikan wajahnya seperti semula walaupun masih tersirat sendu. Jay menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, meninggalkan kekosongan di dalam kamar. Kai tersenyum tipis sebelum berjalan mengambi tas besar milik teman sekamarnya.

Tidak, Kai tidak akan mencurinya, ia hanya ingin meletakkannya di dalam lemari untuk memberikan kesan apik di dalam kamar.

Ia kembali menatap Jay. Sedikit bersyukur karena pada akhirnya memiliki teman sekamar lagi setelah sekian lama. Walaupun Jay mungkin akan sering berbicara menohok padanya namun tidak apa, Kai tidak keberatan. Yang terpenting ranjang di sisinya tidak kosong saja ia sudah bahagia.

Setelah menutup pintu sekaligus menguncinya, Kai kembali menulis di atas kertas sebelum disobek kemudian diletakkan di atas meja samping ranjang Jay.








Jay, semoga lo betah sekamar sama gue. Gue janji, gue bakal jadi temen sekamar yang baik buat lo. Maaf kalau gue punya kekurangan dan itu ngebuat lo nggak nyaman, tapi gue bakal berusaha yang terbaik kok. Makasih Jay, makasih.

ASRAMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang