Terjerat

90 10 0
                                    

"Aku masih berbaik hati hanya menahan kedua orang tuamu di suatu tempat." Pria itu memperingatkan dengan kejam, seolah jika suasana hatinya sedang tidak baik, akan terjadi sesuatu pada kedua orangtua Alena.

"Apalagi yang kamu lakukan? Dimana orangtuaku?"

"Tenang, mereka aman. Jika kamu mengikuti keinginanku malam ini, tidak akan ada yang terjadi pada mereka." Pria itu dengan santai tersenyum seolah mereka hanya sedang membicarakan hal-hal ringan.

Alena menatap Radit dengan benci. "Kamu sakit. Orang seperti kamu seharusnya ada di rumah sakit jiwa, ngerti?"

Pria itu hanya terhibur dengan sikap wanita itu. "Aku lihat kamu sudah siap untukku." Radit menelusuri tubuh Alena yang hanya memakai gaun tidur tipis.

"Ini bukan untuk kamu!" Alena memelototi pria itu dengan galak sambil menyilangkan tangannya menutupi tubuh bagian depan.

"Aku tidak peduli. Pada akhirnya kamu hanya akan berakhir denganku." Radit mendekat, menutup jarak di antara mereka.

Tangan dingin pria itu masuk menelusup ke balik gaun tidurnya. Mengusap bokong Alena yang kencang dan meremasnya dengan senyuman jahil di bibirnya. Alena ingin menjauh namun kaki bagian belakangnya sudah menabrak sofa panjang yang berada di ujung tempat tidurnya.

Tangan pria itu menggerayangi tubuh Alena tidak peduli wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan tangannya atau bahkan menurunkan gaunnya yang terangkat karena ulah pria itu.

"Turuti aku dan orangtuamu akan kembali dengan selamat malam ini."

Mata Alena melebar mendengar ancaman pria itu. Ia tidak bisa membahayakan nyawa kedua orangtuanya. Lagipula, pria di hadapannya sudah melakukan itu padanya berulang kali. Alena masih bisa bertahan untuk itu. Ia memutuskan menyerah demi orangtuanya.

Radit merobek pakaian tidur wanita itu dengan mudah hingga membuatnya terkejut dan sedikit terguncang. Pria itu menghancurkan semua yang menempel pada tubuh Alena.

Alena berdiri di hadapannya tanpa menggunakan sehelai benangpun untuk menutupi dirinya. Rasa malunya sudah tertutup oleh amarah. Wajah wanita itu menantang Radit. Menunggu apa lagi yang akan pria itu lakukan pada dirinya.

Radit tiba-tiba duduk di sofa itu setelah menurunkan celananya, pria itu bahkan tidak melepas celana ataupun bajunya. Alena ditarik untuk duduk mengangkangi pria itu. Alena duduk berhadapan dengan Radit. Pria itu memasukkan miliknya ke dalam tubuh Alena dalam posisi duduk berhadapan.

Alena mendesis. "Bajingan!"

Radit hanya tersenyum dingin dengan tenang. "Bergeraklah sayang, permainan tidak akan menyenangkan jika kamu tidak berpartisipasi."

Alena menolak untuk mengikuti perintahnya sehingga membuat pria itu mencengkram pinggang wanita itu dan menaik turunkan tubuh mungil di pangkuannya itu.

Alena membuang pandangan ke segala arah. Kemanapun, selain ke depannya.

Radit tahu apa yang Alena pikirkan. Maka dari itu ia, menahan wajah Alena berhadapan dengannya sementara tubuh mereka menyatu.

Selain malam pertama, Alena tidak pernah bercinta dengan Radit si baik. Ia selalu dipaksa untuk berhubungan dengan Radit si monster sehingga ia tidak pernah merasakan kepuasan saat melakukan itu. Namun, kali ini berbeda. Walaupun ia dipaksa, hujaman pria itu terasa sangat dalam di tubuhnya dan Alena berusaha untuk menahan agar ia tidak menyerah pada pria di hadapannya.

Radit berbisik di telinganya. "Kamu bisa menahan selama yang kamu mau tapi ekspresi wajahmu tidak bisa berbohong." pria itu lantas turun ke leher jenjang Alena dan menggigit kemudian menghisap kulitnya.

Alena mendelik setelah pria itu lagi-lagi memunculkan senyuman kemenangannya.

Radit melakukan hal terakhir, ia menyusupkan jarinya dan menekan inti kewanitaan Alena hingga wanita itu lepas kendali dan bergetar. Setelah puas melakukan itu, barulah Radit menggeram melepaskan kepuasannya.

"Lihatkan? Kamu bisa menikmati ini sebesar aku merasakannya." Pria itu jelas mengejek Alena yang baru saja mencapai puncak.

Belum sempat Alena membalas ejekan pria itu, di bawah terdengar suara mobil yang baru saja memasuki garasi. Alena terlonjak dan berlari untuk mengintip dari balik gorden. Mobil orangtuanya baru saja kembali.

Alena panik dan tergesa-gesa mengambil pakaian dari lemarinya karena gaun tidurnya sudah tidak dapat diandalkan.

Sebaliknya, pria itu hanya perlu menaikkan celana dengan mudah.

Alena mengenakan piyama panjang seolah diluar adalah musim hujan yang dingin. Radit tergelak melihat usaha Alena untuk menutupi kulitnya.

"Katakan pada orangtuamu, besok kamu akan kembali ke istana." Ucap pria itu tegas.

Alena berbalik. "Ngga akan. Untuk manapun itu. Aku ngga akan bilang seperti itu sama mereka dan aku juga ngga akan kembali ke sana."

Alena turun lebih dulu untuk mengecek kondisi kedua orangtuanya.

Saat ibunya masuk, Alena meninjau keadaan beliau. Nampak baik-baik saja.

"Kamu belum tidur, Len?" Ibunya bertanya begitu melihat anaknya turun.

"Ibu dari mana?"

"Ah, itu pesta anniversary temannya ayah. Maklum, sekalian reuni jadi sedikit agak lama." Syukurlah, tidak ada sesuatu yang aneh terjadi pada mereka berdua.

Ayahnya kemudian menyusul masuk. "Sayang, belum tidur?"

"Belum, yah." Ayahnya mengecup kening Alena.

"Selamat malam, om, tante."

Tubuh Alena berubah menjadi kaku mendengar suara itu di belakangnya.

"Raden mas!" ibunya berseru lebih dulu.

Ayahnya terdiam tanpa kata-kata untuk beberapa detik. Masih terpana salah satu anggota kerajaan ada di dalam rumahnya. "Raden mas. Apa kabar?" akhirnya keluar dari mulut ayah.

"Baik, om."

"Ada apa ini?"

"Maaf om, berkunjung tengah malam. saya sudah berencana pergi sejak tadi namun memutuskan untuk menunggu om dan tante pulang."

Di sampingnya Alena memutar mata mendengar alasan pria itu. Acting yang diperankan juga membuatnya muak. Pria itu berubah seolah ia yang sekarang dengan yang beberapa menit lalu di kamar adalah lain orang.

"Tidak apa-apa. Mari duduk."

"Saya tidak lama. Hanya ingin menyapa. Setelah seleksi diumumkan, saya belum sempat menyapa calon mertua saya."

Ibunya mendengar itu tampak tersenyum girang. "Tidak apa-apa. Sayangnya anak saya tidak bisa mengambil keputusan yang tepat dan malah berakhir dengan membatalkan pernikahan ya, mas."

"Oh, saya juga kesini untuk memperbaiki itu tante. Saya datang kesini untuk meminta Alena memikirkan kembali keputusannya dan syukurnya Alena bersedia untuk kembali ke istana. Iya kan, sayang?"

Ibunya terbelalak kaget. "Oh tuhan! Akhirnya.."

Alena mendelik pada pria itu. "Tapi itu belum pasti bu." Alena memilih jawaban aman.

"Omong-omong, saya dengar om dan tante ada rencana untuk keluar kota minggu depan ya?"

Ayahnya yang kali ini menjawab. "Betul, raden mas dengar dari mana?"

"Ah sepertinya tadi Alena sekilas menceritakan."

"Ooh.." Ayahnya mengingat-ingat apakah ia pernah menyebutkan tentang ini pada putrinya? Ah mungkin, istrinya yang sudah bilang pada Alena lebih dulu.

"Semoga selamat sampai tujuan ya om dan tante." Pria itu menekankan kalimat itu sambil menatap mata Alena.

"Iya iya, terima kasih Mas."

Alena tahu ia sudah kembali ke dalam jeratan iblis itu.

Ia kalah dan orangtuanya tidak bisa menyelamatkan putrinya. mereka bahkan tidak tahu siapa orang itu sebenarnya.

Simpanan Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang