1

959 41 2
                                    

Raut wajah itu tampak gelisah dengan mata yang masih memejam. Kepalanya menoleh kiri kanan tanpa henti. Bulir-bulir keringat berjatuhan dari pelipisnya. Yedam terbangun dengan nafas yang terengah-engah. Dia memegangi dadanya yang berdegup dengan kencang, merespon ketakutan tak berdasar pada isi mimpinya. Bahkan tubuhnya sedikit gemetar.

"Mimpi itu lagi..."

Kantung mata yang sedikit gelap jelas terlihat di wajah lelah itu. Netranya kemudian memandang jam weker di atas meja nakas. Jarum jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari, masih terlalu pagi untuk bangun.

Menghembuskan nafas lelah, Yedam mendudukkan diri, punggungnya menyandar pada tembok di sisi kasurnya. Tidak ada rasa kantuk yang kembali setelah mimpi buruk. Dia tidak mengerti mengapa harus terus menerus memimpikan hal seperti itu, terhitung sudah 3 kali tahun ini. Dan lagi, entah mengapa mimpi itu terasa begitu nyata. Tapi, adiknya tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Seingatnya, penyebab kedua orang tuanya meninggal murni kecelakaan mobil saat ia masih duduk di bangku SMP kelas 2, ia dan Jeongwoo juga berada di dalam sana bahkan sempat mengalami koma beberapa Minggu karenanya. Kejadian itu terjadi 6 tahun yang lalu. Sudah lama sekali...

Yedam menepuk-nepuk pipinya pelan, menyadarkan diri dari ingatan tak menyenangkan. Sudah cukup, tentang adiknya itu jelas hanya bunga tidur, mungkin dirinya terlalu lelah bekerja sehingga tidak punya banyak waktu untuk beristirahat.

Daripada memikirkan sesuatu yang tak jelas lebih baik dia mandi lebih dulu. Air hangat di pagi hari akan menyegarkan kepalanya. Tadinya pilihan melanjutkan tidur adalah hal yang menggiurkan mengingat ia hanya tidur kurang dari 5 jam setiap harinya. Tapi hari ini adalah weekend. Dia harus sedikit produktif agar tidak jadi pemalas. Dan lagi...

... dia juga punya janji kencan dengan pacarnya siang ini.

***

"Oh Hyung, kau sudah bangun?"

Yedam yang baru turun dari tangga menoleh ke arah meja makan dimana Jeongwoo tengah berkutat di dapur dengan apron biru langitnya. Wah, adiknya sudah bangun dan menyiapkan sarapan, rajin sekali.

Yedam mengangguk kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi yang di depannya sudah tersaji beacon dan telur goreng lengkap dengan segelas susu.

"Hyung sudah bangun sedari tadi, hanya saja sibuk membersihkan kamar. Kau sendiri kenapa sudah bangun sepagi ini? Biasanya, jika itu hari libur bangunmu akan siang sekali."

Cengiran lebar menghiasi wajah Jeongwoo yang sedang menaruh apron biru langitnya di dinding dapur yang berhadapan dengan meja makan.

"Memangnya kenapa? Apa bangun di pagi hari terlalu tabu untukku lakukan?" Jeongwoo kemudian duduk di kursi, berhadapan dengan Yedam, lalu menuang susu dari kotak besar ke gelas miliknya.

Mendengar itu Yedam terkekeh geli. "Bukan begitu, hanya saja ini terlalu langka."

Jeongwoo mendengus sebal lalu mulai memakan sarapannya begitupun dengan Yedam.
Keduanya makan dengan tenang. Memang sejak kecil mereka diajarkan untuk tidak berisik ketika makan. Katanya itu adalah salah satu bentuk kesopanan.

Selesai sarapan Jeongwoo menumpuk piring dan gelas miliknya serta milik Yedam di wastafel, hendak mencucinya.

"Biar hyung saja." Yedam menggeser tubuh besar itu dan mengambil alih spons di depannya.

"Aku saja yang melakukannya hyung. Ini hari liburmu, gunakan untuk bersantai." Jeongwoo mencoba merebut alat cuci yang sudah berada di genggaman Yedam.

Yedam kukuh dengan niatnya, dia tidak membiarkan spons itu jatuh ke tangan adiknya. "Ini hanya 2 gelas, 2 piring, 2 sendok, dan 1 teflon. Tidak banyak dan sulit, lebih baik kau saja yang bersantai."

Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang