3

420 41 1
                                    

Sudah seminggu sejak pemakaman Shin Yuna dilaksanakan. Yedam menjadi sangat pendiam dan seringkali melamun, sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Tubuhnya telah menjadi kurus dalam waktu singkat. Dia tidak lagi berbicara dengan banyak orang, hanya Jeongwoo lah satu-satunya yang bisa untuk terus berada di dekatnya.

Karena itu, keadaan psikisnya dianggap tidak memungkinkan untuk kembali bekerja, perusahaan memutuskan untuk memberikan cuti dua bulan lamanya.

Sejujurnya itu menimbulkan pertanyaan dari beberapa karyawan di sana karena rata-rata karyawan disana maksimal hanya di berikan 20 hari cuti dalam setahun. Meski begitu tidak ada yang protes tentang jumlah cuti yang diberikan kepada Yedam. Mereka pikir mungkin perusahaan cukup prihatin dengan pemuda rubah itu hingga memberi kelonggaran.

Hari ini, Yedam sedang duduk di pinggiran kasurnya. Matanya tetap kosong seperti hari-hari sebelumnya. Pikiran dan hatinya seperti berkelana entah dimana. Bayang-bayang kejadian di hari itu berulang melintas di benaknya, tidak membiarkannya untuk tidur tenang barang sejenak.

Lihat, bahkan kantung matanya nyaris berwarna hitam. Adiknya sampai harus memberikannya obat tidur beberapa kali agar dia bisa tenang sebentar. Tentu saja itu tidak dilakukan secara sering, sangat berbahaya mengonsumsi obat tidur secara berlebihan, bukan?

Yedam tahu bahwa yang terjadi pada kekasihnya murni kecelakaan karena pengendara truk yang mabuk, berdasarkan pada penyelidikan yang dilakukan polisi setempat.
Namun, hatinya terus menyalahkan diri atas apa yang terjadi. Seandainya hari itu dia tidak mengajak untuk berkencan mungkin Yuna masih baik-baik saja, makan siang bersama dengan candaan ringan di hari berikutnya. Melempar senyum manis sebagai penyemangat sebelum dirinya kembali bekerja.

Seandainya...

Pandangannya kini mengarah pada salah satu foto dengan bingkai kecil berwarna kuning lembut di atas meja nakasnya, isakan lolos dari bibirnya. Tubuhnya kini merosot kebawah, dengan gemetar tangannya meraih bingkai itu. Di sana tampak sepasang kekasih tengah tersenyum sambil berpelukan dengan boneka kelinci di antara keduanya, dia dan Yuna. Di elusnya foto itu lembut.

"Yuna...maaf hiks, maafkan aku, maaf maaf maaf!"

Isakan kecil itu lama-kelamaan berubah menjadi tangisan pilu, suara seraknya meraung-raung dengan marah. Tangannya mengacak atau melempar benda-benda di sekitarnya, membuat kamarnya menjadi sangat berantakan dan kacau. Dia marah, marah pada dirinya sendiri.

Dulu sekali dia pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan gadisnya. Tapi apa yang dia perbuat? Berdiri seperti orang bodoh ketika sang kekasih terpelanting dan terseret oleh ban besar dengan sadisnya.

Dia memang pengingkar sejati, pernahkah dia melaksanakan janjinya sekali saja pada Yuna?

'ceklek'

"Hyung!"

Jeongwoo berlari tergesa-gesa menuju sang kakak yang tengah dalam posisi ingin membanting lampu tidur. Dia peluk tubuh mungil itu, menepuk-nepuk pelan punggung serta pucuk kepala. Dirinya mencoba menyalurkan rasa menenangkan agar sang kakak tidak lagi menangis dan meracau.

Sebelumnya Jeongwoo tengah memasak untuk makan malam mereka, tapi suara tangisan sang kakak serta suara riuh di atas membuatnya menghentikan kegiatan dan segera pergi untuk memeriksa keadaan.

Oh, kakaknya benar-benar orang yang sangat rapuh saat ini.

Setengah jam berlalu, Jeongwoo menundukkan kepala untuk menemukan kakaknya yang tidak lagi menangis. Hanya wajah yang tampak pucat dan basah karena air mata. Dia elus pipi tirus itu dengan lembut. Oh, dia harus lebih banyak memasak untuk mengembalikan lemak pipi kakaknya.

Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang