Para karyawan lalu lalang di dalam ruangan kantor yang cukup luas itu. Mereka adalah orang-orang yang akan pulang dari kegiatan bekerja yang begitu melelahkan, menyisakan beberapa orang yang masih berkutat pada banyaknya berkas yang menumpuk, mengharuskan mereka untuk lembur.
Yedam adalah salah satu yang pulang tepat waktu kerena ia tidak punya banyak pekerjaan hari ini, sebab keadaannya yang masih di anggap belum sepenuhnya pulih, jadi dia membereskan tas nya untuk bersiap pulang. Gerakannya begitu lamban dengan kesadaran yang setengah melamun. Pikirannya masih berpusat pada kejadian pukul 8 pagi tadi, maka dari itu dia banyak diam.
Dia merasa tidak enak juga malu karena meninggalkan kesan aneh pada pertemuan pertama yang mereka lakukan meski tidak sengaja.
Doyoung sendiri pun sepertinya sadar atas aura suram yang terus di keluarkan pemuda itu secara tidak sadar. Dia tidak banyak bertanya ini itu pada Yedam. Meskipun mereka ada di ruangan yang sama, bahkan hanya berjarak 2 meja. Untungnya, tidak ada hal yang mengharuskan mereka untuk saling berinteraksi lebih dalam.
Dia hanya tidak ingin memaksakan pemuda yang baru mengalami musibah itu. Masih ada waktu lain untuk mendekatinya, meski dia sedikit tidak sabaran untuk hal lain.
Yedam telah membereskan tas kerjanya, begitu juga Doyoung. Mereka secara alami bersama-sama melewati lorong menuju lift. Sebenarnya ada satu karyawan lain yang berjalan bersama mereka. Tapi karyawan itu sepertinya meninggalkan barangnya hingga dia terburu-buru berbalik kembali ke dalam ruangan kantor.
Jadi, disinilah mereka. Berdiri berdua menunggu pintu lift terbuka. Di temani cahaya oranye yang perlahan semakin pekat dari waktu ke waktu.
"Aku minta maaf untuk yang tadi pagi."
Perkataan yang tiba-tiba itu membuat Doyoung secara refleks menolehkan kepalanya ke arah Yedam. Dia bisa melihat wajah sendu pada pemuda itu. "Kenapa minta maaf? Itu tidak merugikan ku sama sekali. Seharusnya aku yang menanyakan ini, apa kau sudah baik-baik saja sekarang?"
Yedam tersenyum, senang akan sifat pengertian yang diberikan Doyoung. "Aku tidak apa-apa, Kim Doyoung-ssi."
"Panggil saja Hyung, atau apapun sesuka hatimu," Doyoung berjalan masuk lebih dulu ketika pintu lift telah terbuka, lalu menahannya agar tidak segera tertutup. "Masuklah, kau tidak mau turun?"
Sedangkan pemuda lainnya masih berdiam diri di tempatnya, tampak terkesan dengan bagaimana Doyoung memperlakukannya. Bahkan, Junkyu yang menjadi teman satu satunya di kantor ini tidak mengatakan hal ramah mengenai panggilan di hari pertama mereka bertemu. Dia pun jadi merasa sedikit lega karena itu, tidak lagi merasa malu meski masih penasaran dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
"Park Yedam?"
"Ahk, iya!" Yedam buru-buru masuk ke dalam lift dengan wajah panik, membuat Doyoung sedikit terkekeh pelan.
Mereka telah sampai di lobby dan kemudian berpisah setelah sampai di lahan parkir, tentu untuk menaiki mobil masing-masing.
Setelah masuk ke dalam mobilnya, Yedam mengecek ponselnya, mengetik beberapa kata di sana. Satu detik kemudian ponselnya berbunyi, pertanda bahwa pesannya telah dibalas.
Yedam sedikit tertawa ketika membaca sederet pesan dengan satu emoji lucu.
"Anak itu, masih saja menggunakan emoji kekanakan seperti ini."
Setelahnya, Yedam menyalakan mesin mobilnya.Sedangkan Doyoung diam memandang Hatchback putih yang di kendarai Yedam melaju pelan meninggalkan area parkir.
Setelah tak lagi terlihat, dia mulai menjalankan mobilnya, yang pasti dia tidak sedang ke arah rumahnya sendiri..
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother
Fanfiction"Tidak ada yang bisa merebut kakakku." Dunianya hanya berpusat pada sang kakak. Tekadnya sudah bulat. Tidak akan ada yang bisa menghalangi, sekeras apapun itu. •Bukan cerita BL/BxB!