Bab 3

84 11 2
                                    

"Bangun!"

Suara yang tiba-tiba menyusup di telinga itu mampu membuat Avis mengerjapkan mata. Pandangannya tidak fokus, kepalanya berputar. Dia kembali terpejam, sebuah upaya untuk menghilangkan pening yang melanda. Tak berhasil, karena detik kemudian, terasa sebuah tepukan keras di kening, yang memaksanya untuk kembali bangun dan menghadapi hari. Bahkan, wajah Dalmar juga terlihat kabur.

"Nih, minum."

Pemuda itu menyerahkan satu butir pil pereda sakit kepala, lengkap dengan air mineral dalam botol, yang diterima dengan gerakan sedikit oleng dari Avis. Dia mendudukkan diri secara perlahan, lalu menelan obat mungil-yang setelah ini mungkin dapat membantunya. Kepalanya masih berputar, tetapi pandangannya sedikit membaik, membuatnya dapat memperhatikan sekeliling. Ruang tamu yang tampak asing.

"Bukan rumah gue, ya?" tanyanya, setelah dapat memastikan dua kali.

Memang bukan. Itu rumah Dalmar.

"Gue enggak kuat kalau harus gotong kalian satu per-satu ke rumah masing-masing."

Avis menoleh ke samping, ke arah dua manusia lain yang masih tertidur. Mereka tampak kacau, sama dengan dirinya. Hanya Dalmar yang terlihat baik-baik saja.

"Lo enggak mabuk, Mar? Hebat juga," komentarnya.

"Kalau gue mabuk, enggak ada yang urus kalian."

Wah, teman yang pengertian! Biasanya, Jovan yang akan berperan menjadi salah satu makhluk waras di antara mereka. Namun, kali ini, rupanya Dalmar sedang berbaik hati, mau bertukar tempat menjadi pengurus bagi anak-anak nakal yang teler karena minuman.

"HP gue mana?" tanya Avis lagi. Sepertinya memang hal lumrah. Manusia yang baru saja bangun tidur pasti mencari ponsel, alih-alih benda lain.

"Di kamar. Baterainya lemah. Tadi gue charge. Mending sekarang lo mandi dulu," jawab si pemilik rumah.

Dia berdiri, berpindah pada Davi dan meneriaki telinganya. Avis juga bangkit, melangkah menuju kamar Dalmar untuk mencari ponsel. Rumah itu tampak sepi. Sepertinya, kedua orang tua Dalmar tak ada di rumah, jadi Avis tak perlu repot-repot meminta izin masuk seperti tamu.

Notifikasi di ponsel menunjukkan betapa Jacquavis sangat dicari-cari dari semalam. Tiga belas panggilan tak terjawab dari Mama, empat panggilan tak terjawab dari Cahaya, dan beberapa pesan masuk. Dia mencabut kabel charger dari ponsel, kemudian melakukan tindakan yang harus didahulukan; menelepon Mama.

"Kamu di mana!" Bentakan segera terdengar saat wanita itu baru saja menerima panggilan. Tak ada sapaan 'halo'.

"Rumah Dalmar, Ma," jawab si anak, mencoba terdengar kalem. Kedongkolan hatinya yang kemarin mendadak kembali ketika mendengar teriakan dari sang Ibu.

"Jangan bohong, Avis! Di mana?"

"Avis tidur di rumah Dalmar. Orang tuanya pergi. Dia sendirian, jadi minta ditemani. Kalau enggak percaya, nanti Avis foto. Kirim ke chat."

"Pulang sekarang!"

Sambungan terputus setelah Avis mengiakan perintah Mama. Dia kembali memasang kabel charger, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Sekalian saja membersihkan tubuh di sini. Beberapa jam lagi dia harus mulai mengikuti kelas pertama. Niatnya hanya pulang untuk sekadar setor muka, lalu berangkat ke kampus. Dengan begitu, dia jadi bisa terbebas dari omelan berlanjut. Lebih baik mendengar ocehan dosen yang bisa diabaikan atau ditinggal tidur, ketimbang amukan Mama yang akan sangat berbahaya jika tak diindahkan barang sedetik saja.

***

Garin dan Tabitha sedang duduk di kantin dengan dua mangkuk bakso di hadapan mereka. Keduanya baru saja menyelesaikan kelas siang ini, dengan gerutu-gerutu khas Tabitha yang mengeluhkan betapa penatnya dia dengan pelajaran yang berlangsung, menyogok traktiran-sekalipun tak ada hal spesial yang patut dirayakan. Garin menuruti saja. Tabitha bahkan lebih sering membelikannya ini-itu, jadi hitung-hitung gilirannya menyenangkan hati teman.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang