Prolog

354 22 0
                                    

Sudah dua jam Garin duduk sendiri di taman belakang kampus. Dua jam yang cukup lama untuk tak melakukan tindak apa pun, selain diam memandang danau buatan yang menjadi salah satu daya tarik di sana. Hanya sendiri tanpa kawan, atau tanpa seseorang yang bisa dijadikan teman bincang. Sendiri bersama bayangan, yang bahkan saat ini pergi entah ke mana, mengingat cuaca sedang jauh dari kata terik.

Tangan kanannya menggenggam pena, sementara buku tulis berukuran mini bersampul merah mendiami pangkuan. Telah tertulis sedikit kalimat di atas kertas polos berwarna putih-kekuningan itu, tak lebih dari tiga baris. Tampaknya, gadis itu hendak menorehkan sesuatu, tetapi terhenti di tengah jalan. Tak mampu selesai, hingga menyisakan beberapa kata yang belum bisa dinikmati keindahannya.

Fokusnya sedang terpecah, terus-menerus memandangi pemandangan di depan tanpa memikirkan satu hal pun yang berarti. Pemikirannya terhenti, menolak memikirkan gemerlap fana dan hilang dalam dunianya sendiri. Tampak tak dapat diganggu, walau tak melakukan sesuatu. Bahkan, dia tak menggubris dentingan nyaring notifikasi dari telepon genggam yang tergeletak di sampingnya. Terlalu asyik dengan suara dalam kepala yang entah menyuarakan apa.

Garin menghela napas, lalu meletakkan pena pada undakan batu yang sedari tadi diduduki. Angin berembus cukup kencang pada bulan November, membuat rambut hitam sepunggungnya sedikit teracak. Perempuan itu agak terganggu jika sang bayu memainkan mahkotanya, jadi dia mengambil karet rambut yang melingkar di pergelangan tangan, mengikat surainya menjadi ekor kuda.

Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali berbunyi. Layarnya menampakkan notifikasi lain, yang kali ini sukses mengembalikannya dari dunia antah-berantah. Dia memungut benda pipih serbaguna yang sudah dimiliki sejak bertahun-tahun yang lalu, kemudian membaca dalam hati.

Ada pesan dari Tabitha, yang menanyakan keberadaannya saat ini. Pasti gadis itu ingin mengajaknya pulang bersama. Sudah menjadi kebiasaan di hari-hari lampau, keduanya sulit terpisah. Tipikal sahabat baik yang selalu berbagi apa pun berdua.

Namun, kali ini, Garin tak mau ambil pusing. Dia hanya membalas dengan jawaban seperti, "Hari ini gue pulang sendiri, Tha." Yang dibalas dengan ujaran sesingkat, "Ok!"

Lalu, selesai. Tak ada percakapan via elektronik lagi. Ponsel itu kembali sepi.

Dia merogoh tas, mengambil earphone berwarna putih dan menancapkan pada ponsel. Seketika lagu sendu mengisi pendengarannya. Lagu favorit yang hampir tiap hari tak pernah absen terputar dari playlist yang tersedia.

The stars lean down to kiss you ...
And I lie awake and miss you ...
Pour me a heavy dose of atmosphere ...

Duduk menyendiri, menatap hampa pada danau yang tenang, mendengarkan lagu mellow, Garin sudah mirip seperti karakter perempuan putus cinta dalam penggambaran novel klasik. Padahal, sebenarnya dia tak sedang mengalaminya. Kepribadian gadis itu memang sedikit 'soft', gemar akan hal-hal yang berbau kalem. Musik, puisi, keheningan, selalu menjadi favoritnya. Bahkan, embusan angin yang sering mengacak-acak rambut juga termasuk salah satu hal yang dia suka. Menenangkan.

Tak beberapa lama, ketenangan yang dirasakannya mulai meluntur. Semua memudar saat terdengar petikan kasar suara gitar, yang mengalun terlampau kencang di suasana yang hening seperti ini. Terlampau nyaring, mengingat sepinya lokasi yang sedang dia kunjungi.

Garin menoleh ke asal suara dengan sedikit rasa jengkel. Seperti yang sudah bisa ditebak, itu Avis, yang duduk dengan jarak cukup jauh, tetapi suara gitar dan nyanyiannya terdengar lebih keras dari penyanyi dengan microphone. Cowok yang sama dengan yang selama ini selalu membuat gaduh di area tenang itu, dengan lantunannya yang tak dikira-kira.

Sebenarnya, Garin tak perlu repot-repot menengok untuk mencari sumber suara berisik yang mengganggu, karena sudah bisa dipastikan, teman sekampusnya itu selalu datang ke taman yang sama setiap sore, lengkap dengan gitar dan senandung. Selalu datang dan membuat segala ketenangannya buyar. Se-la-lu.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang