Bab 4

64 10 0
                                    

Satu minggu mendatang ...

Garin duduk sendiri di depan aula kesenian, tak seberapa jauh dari tempat panggung berdiri. Suasana tampak ramai, banyak sekali yang berlalu-lalang dan terlihat sibuk. Mungkin kebanyakan dari mereka adalah staf pengatur acara, mengenakan tanda pengenal yang tergantung di leher, mondar-mandir mengangkat banyak barang untuk kegiatan hari ini. Sisanya, hanya mahasiswa biasa, yang tak kalah sibuk dan antusias.

Mereka semua tampak berjalan beriringan, ada yang berdua-dua, bertiga, berkelompok. Hanya Garin yang tampak sendiri. Sebenarnya tadi dia bersama Tabitha, tetapi gadis itu tiba-tiba berpamitan entah ke mana. Katanya, sih, hendak bertemu Mas Pacar.

"Abel ke sini?" tanyanya, sebelum Bitha pergi.

"Iya. Diajak Abang lo. Sebentar, ya. Lo tunggu di sini."

Pergilah Tabitha yang sedang dimabuk cinta itu, meninggalkan Garin seorang diri di antara kerumunan manusia yang berpasang-pasangan. Hebat! Dia merasa menjadi jomblo miris saat ini.

"Kiw! Cewek!" sapa suara di sampingnya, tiba-tiba, membuatnya menoleh dengan pandangan tidak suka. Namun, seketika segala tatapan bermusuhan itu berubah, ketika mendapati bahwa Jacquavis adalah sumber dari ucapan kurang sopan barusan.

Garin tersenyum, kemudian terpana sesaat menatap penampilan si laki-laki, dari atas hingga bawah. Sedikit berbeda.

"Lo mau tampil?" tanyanya, yang segera dijawab dengan anggukan. "Sumpah? Kenapa enggak bilang!"

Avis tertawa, seraya mendudukkan diri di samping teman perempuannya. Satu minggu memang bukan waktu yang lama, tetapi cukup untuk membuat keduanya semakin dekat. Sering bertemu di taman dekat kampus, berkomunikasi lewat ponsel, keduanya tampak sama-sama merasa klop.

"Lo sendirian di sini? Kayaknya lo selalu sendirian, ya?" tanya Avis, alih-alih menjawab ocehan cewek di sebelahnya.

"Tadi sama teman. Tapi, dia pergi sebentar. Mau ketemu sama pacarnya," jawab Garin.

"Pacar lo mana? Pelaku ghosting, ya?"

Yang diledek tampak memukul lengan kawannya secara main-main. Avis sering sekali menggodanya dengan kalimat serupa, seolah dia benar-benar memiliki pacar dan sedang ditelantarkan secara mendadak. Dasar laki-laki sok tahu!

"Nanti tampil bawa lagu apa?" tanya Garin lagi, mengabaikan gurau tentang pacar-pelaku-ghosting yang barusan.

"Hysteria," jawab yang ditanya, singkat. Singkat, tetapi cukup menimbulkan respons besar bagi pihak penanya.

"Sumpah? Muse itu band favorit gue, Vis!"

Keantusiasan muncul, sedikit berlebihan, hanya karena mendengar satu jawaban barusan. Pasalnya, band luar negeri yang satu itu benar-benar mencuri hati Garin sejak lama. Lagu-lagunya senantiasa didengarkan hampir tiap hari, tiap dia menyalakan aplikasi pemutar musik. Tak pernah absen dari pendengarannya. Bagi Garin, Matt Bellamy adalah role model nomor satu di jagad permusikan. Dia mengagumi pria itu secara mendalam. Jadi, tak bisa disalahkan jika respons yang diberikannya tampak sedikit hiperbola. Cinta-pada apa pun atau siapa pun itu-sering kali membutakan.

"Masa? Wah, gue enggak sangka kalau lo punya selera sama band-band semacam Muse. Gue kira, lo suka dangdut." Lagi-lagi, si laki-laki berujar dengan nada mengejek, menggoda secara main-main. Membuat kawan barunya itu tertawa ringan.

"Apa, sih! Garing!" sahut si cewek.

"Nama lo, 'kan?"

Avis terus menggoda, kali ini menggunakan bahan guyonan yang pernah didengarnya dari jauh-jauh hari. Godaan khas pacar Garin, yang pernah dilontarkan di restoran cepat saji ketika mengantre. Di mana cowok itu sekarang? Kenapa tidak duduk bersama pacarnya di sini?

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang