Bab 12

50 6 1
                                    

Sore ini, Garin ada di dalam kamar Avis, membantunya mengepak pakaian. Laki-laki itu akan bertandang ke Singapura besok pagi, setelah mendapat persetujuan dari kedua orang tua dengan cara yang dramatis. Semua berkat Garin. Jika tanpa penjelasan dan perlakuan menye-menye dari Garin terhadap Mama Avis, mungkin pemuda itu tetap dilarang pergi untuk mewujudkan mimpinya. Tak akan mendapat restu untuk membuktikan diri di negara tetangga.

Jacquavis tak henti berterima kasih pada teman wanitanya. Dia menghujani gadis itu dengan banyak sekali hadiah, camilan-camilan, buku bacaan baru, tanda betapa besarnya rasa syukur atas kehadiran Garin. Sangat jarang ada seseorang yang mau-maunya menceburkan diri pada masalah orang lain seperti yang perempuan itu lakukan. Jadi, Avis betul-betul berterima kasih.

"Buat apa lo bawa baju banyak-banyak?" gerutu Garin, ketika melihat Jacquavis bergerak-gerak sendiri untuk menyiapkan pakaian. Dia sedang tidur di atas tempat tidur saat ini, melihat saja si pemilik kamar duduk di karpet dan melipat baju-bajunya.

"Gue di sana selama seminggu. Masa cuma bawa baju tiga potong," jawab Avis, sembari memasukkan keperluannya ke dalam koper.

"Alah! Biasanya juga lo jarang ganti baju. Sekarang malah jadi sok modis begini," cibir sang tamu, tampak bersungguh-sungguh.

"Lo ke sini jadi mau bantu gue beres-beres atau enggak?" tanya Avis, seraya melirik kawannya yang sedikit menampakkan kesinisan hari ini. Kenapa, ya? Apa Garin sedang badmood? Apa dia sedang mengalami datang bulan?

"Enggak, ah! Lo beres-beres sendiri aja. Gue malas," jawab Garin, tanpa perlu pikir panjang. Sangat terlihat dari caranya bicara, bahwa jawaban itu seratus persen mengandung kejujuran. Dia tak ingin membantu, seperti agenda awal.

Kalimat yang mampu membuat Jacquavis tertawa. Hanya tawa singkat, sebelum dirinya kembali sibuk merapikan baju. Tak ada percakapan lagi selama beberapa menit selanjutnya. Mereka asyik dengan diri masing-masing, dengan kegiatan masing-masing, dengan pemikiran masing-masing.

"Vis," panggil Garin, setelah terjadi kebisuan yang cukup lama. Avis menoleh, menatap kawannya-yang kini telah mendudukkan diri di tempat tidur. "Kenapa rasanya gue jadi sedih, ya?"

"Sedih kenapa?" tanya Avis.

"Sedih lo pergi ke luar negeri besok," jawab Garin, apa adanya.

"Cuma seminggu, Rin. Lagi pula, lo sendiri, 'kan, yang dukung gue mati-matian ikut event ini. Sampai rela bujuk Mama juga biar gue bisa pergi."

Garin diam, memikirkan segala ucapan kawannya. Benar, dia yang dari awal mendukung, dari awal memberi support. Dia ingin melihat Jacquavis berhasil pada bidang yang digemari, ingin melihat cowok itu sukses di jalannya sendiri. Namun ... astaga, kenapa rasanya begini, ya? Ke mana perginya rasa antusias yang dimilikinya ketika Jovan pertama kali mengumumkan bahwa Maclaus berhasil lolos?

"Iya," kata Garin. "Harusnya, gue enggak bujuk Mama lo biar lo enggak jadi berangkat."

"Ya ampun, jahat banget!"

Garin tak menyahut, memilih diam mendengar cibir kecil dari kawannya. Gadis itu tampak hanyut dalam pikirannya sendiri. Entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ada yang salah. Ada yang keliru. Dan Avis menyadari itu. Membuat pria itu bangkit dan berjalan ke arah Garin, duduk di sampingnya.

"Kenapa, sih?" tanyanya, kali ini tanpa ada nada bercanda atau main-main.

"Enggak tahu. Tapi rasanya agak aneh, karena-beberapa hari ke depan-lo pasti jarang bikin rusuh di hidup gue. Kita, 'kan, jauh," sahut Garin, melontarkan isi kepalanya.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang