Bab 11

51 8 3
                                    

"Jadi, gue harus bilang apa ke orang tua gue?"

Garin melahap batagor terakhir yang ada di piring, mengunyah berlama-lama sembari memperlihatkan wajah santai. Avis menatap, setia menanti sahabatnya menelan habis makanan dalam mulut dan mendengarkan sebuah solusi. Mereka ada di kantin fakultas psikologi siang ini, membahas persoalan yang memang harus dibahas; cara Avis meminta izin kepada kedua orang tua sebelum berangkat ke Singapura.

Sang gadis tampak menelan kunyahannya, kemudian meminum es teh manis-sebelum akhirnya menjawab, "Tinggal bilang aja mau festival di negara tetangga. Enggak perlu bohong, 'kan?"

"Gue serius," kata Avis cepat. Dan dia memang benar-benar serius. Bicara pada Mama dan Papa tak akan semudah itu. Orang tuanya sedikit berbeda dengan kebanyakan orang tua lain di luar sana.

"Gue juga serius," timpal Garin. "Memang kenyataannya begitu, 'kan?"

"Lo tahu nyokap-bokap gue, 'kan?" tanya Avis lagi, membuat yang ditanya menampakkan anggukan santai. "Lo bisa paham gimana reaksi mereka kalau tahu gue ikutan festival musik? Di luar negeri pula."

Garin menaikkan bola matanya ke atas, menunjukkan ekspresi berpikir yang tampak dibuat-buat. Satu detik, dua detik, gadis itu kembali menatap kawan lelakinya sembari menggelengkan kepala. "Enggak paham. Soalnya belum dicoba."

"Yang ada malah gue disekap di rumah selama sebulan, Rin!" Avis menyandarkan tubuhnya pada bangku, mengacak rambutnya penuh dengan rasa bingung. Perihal meminta izin saja rasanya benar-benar berat. Seperti sedang mengemban tugas rahasia untuk melumpuhkan Nazi di garda terdepan.

"Lebay! Dicoba dulu, makanya!" olok Garin, yang tetap setia dengan segala kesantaian. Bahkan, gadis itu kembali memasukkan potongan batagor ke dalam mulut, mengunyah tanpa ragu, seakan tak bisa melihat segala frustrasi yang tergambar di wajah teman prianya.

Dan hal itu membuat Jacquavis menatap Garin berlama-lama, lalu memajukan duduknya. "Rin, please! Bantu gue. Lo tahu, 'kan, festival ini berarti banget buat gue? Gue harus berangkat. Gue enggak bisa stay di rumah karena enggak dapat izin orang tua setelah semua kerja keras Maclaus terbayar bagus."

"Gue tahu," jawab Garin. "Ini gue juga coba bantu lo, kok. Jalan satu-satunya biar orang tua lo percaya bahwa lo mampu, lo harus bilang apa adanya. Jujur. Lo belum coba juga, 'kan? Jangan negatif thinking dulu, ah! Siapa tahu mereka malah kasih izin, tanpa drama apa pun-kayak yang lo pikir hari ini. Kita enggak pernah tahu, lho!"

"Gimana cara ngomongnya?"

"Tinggal bilang, Ma, Pa, aku mau ke Singapura. Aku lolos ikut festival di sana. Nanti kalau menang, aku bisa masuk label besar. Mama sama Papa doakan aku ya. Selesai! Gampang, 'kan?"

"Gampang, jidat lo!"

Avis kembali menggaruk rambutnya yang tidak gatal, terlihat betul-betul suntuk karena menemui jalan buntu. Ya ampun, andai saja Mama dan Papa itu semacam orang tua baik nan pengertian seperti orang tua teman-temannya, segala kisah hidupnya pasti akan mulus. Cita-citanya bisa tercapai dengan mudah, tanpa diharuskan menjebol tembok batu menggunakan perlengkapan seadanya. Terhalang restu-dalam hal apa pun-memang cukup memberatkan dan tak bisa dianggap sepele.

"Idih! Jangan emosi, dong! Sabar!" ejek Garin, menyaksikan raut kusut yang setia ditampakkan lawan bicaranya.

"Enggak tahu, lah! Gue pusing." Jacquavis menggerutu kecil, kemudian bangkit dari duduknya. Penunjukan waktu pada jam tangannya memaksa harus pergi, sekarang juga. "Gue ke kelas dulu, ya. Lo nanti pulang naik apa?"

"Bareng Bang Barra. Nanti orangnya ke sini, kok," jawab Garin, senang karena kawannya itu menyempatkan bertanya di tengah agenda harian yang harus dilalui.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang