Bab 22

100 8 1
                                    

Tiga bulan berlalu sejak kedatangan Dalmar yang sukses membuat Garin kembali jatuh. Avis benar-benar lenyap, tak pernah ditemukan hingga waktu terus berlalu. Tak ada tanda-tanda keberadaannya, di laut mau pun darat. Dalmar dikabarkan menjadi satu-satunya korban hidup pada kecelakaan pesawat JT157.

Pemuda itu mengaku terbangun di sebuah pondok kecil pinggir laut. Satu tangannya tak dapat digerakkan. Di pipi kanannya terdapat luka yang tampaknya telah diobati. Seseorang menemukannya mengambang di laut, jauh dari lokasi jatuhnya pesawat. Beruntung, dia bisa diselamatkan, walaupun tangannya mengalami cedera yang sangat parah.

“Gue lompat duluan sebelum pesawatnya jatuh,” jelas Dalmar, ketika Barra mencecarnya dengan berbagai pertanyaan saat dia bertandang ke rumahnya tiga bulan yang lalu.

“Pintu darurat udah dibuka, tapi aba-aba buat lompat belum ada. Kami semua panik, pada teriak-teriak tanya ke pramugarinya. Katanya, sih, lokasi lompatnya belum memungkinkan. Tapi gue enggak mau tunggu lama. Gue enggak mau mati di pesawat.”

“Terus, lo doang yang selamat?” tanya Barra.

“Gue enggak tahu, Bang,” jawab Dalmar. “Gue lompat itu waktu posisi belakang pesawat udah terbakar. Gue kena percikan apinya. Jadi, gue lompat. Beruntung gue udah pakai pelampung. Jarak dari pesawat ke laut jauh banget. Gue baru sadar waktu udah ada di air. Tiba-tiba tangan dan kaki gue enggak bisa gerak. Kata dokter, sih, patah karena gue jatuh dari ketinggian itu. Padahal jatuhnya di laut, gue kira enggak akan kenapa-kenapa.”

Hening. Mereka membayangkan kejadian yang baru saja menimpa Dalmar. Garin bergidik ngeri.

“Pipi gue terbakar sedikit, makanya jadi begini. Tapi gue masih beruntung. Gue sendirian di laut sambil lihat pesawat makin jauh, banyak asapnya. Apalagi di badan pesawat bagian belakang.”

Mata Garin berkaca-kaca. Dia benar-benar membayangkan kejadian yang terjadi. Seketika hatinya kembali terpilin memikirkan Avis meninggal bersama jatuhnya kapal terbang itu.

Seperti mengerti pemikirannya, Dalmar menatapnya. “Gue enggak tahu Avis sekarang di mana. Bisa aja dia ada di suatu tempat, ditolong orang baik, seperti gue. Tapi kemungkinan selamatnya betulan kecil. Gue bukannya mau bikin lo tambah sedih.”

Garin mengangguk, seolah telah paham. “Gue tahu,” katanya. Suaranya bergetar saat mengucapkan itu, tetap dia tetap menahan air mata.

“Terus, lo gimana, Mar?” tanya Barra lagi. Dalmar kembali mengalihkan pandangan pada Barra. “Lo berhari-hari ada di laut atau gimana?

“Iya, Bang. Gue stuck di tempat, enggak bisa ke mana-mana, enggak bisa berenang karena tangan dan kaki gue betulan sakit dan enggak bisa gerak. Bahkan, gue udah pesimis selamat. Enggak ada kapal, enggak ada kayu atau apa yang bisa gue jadikan tumpuan. Cuma bergantung sama pelampung yang gue pakai. Gue diseret ombak ke sana-sini. Jadi, posisi gue saat itu betulan enggak jelas. Sampai akhirnya, kayaknya gue pingsan. Gue juga enggak tahu berapa lama. Yang jelas, waktu bangun, gue udah di rumah orang. Tangan gue dibungkus perban seadanya, pipi gue diobati.”

Rupanya, nyawa Dalmar telah diselamatkan oleh seorang nelayan. Pria itu membawa Dalmar ke pondoknya, yang lumayan jauh dari tempatnya berada saat itu. Pria itu merawatnya. Setelah Dalmar sadar, lelaki baik itu segera menghubungi polisi di kota, mengabarkan tentang penemuan salah satu korban pesawat, setelah beliau mendengar penuturan lengkap dari Dalmar tentang kisahnya.

Jadi, begitulah. Tiga bulan telah berlalu, tetapi Avis masih belum ditemukan. Kedua orang tuanya telah ikhlas. Mungkin semesta terlalu mencintai pemuda itu hingga tak ingin mengembalikan tubuhnya.

Setelah sekian lama berusaha untuk tetap tegar, akhirnya Garin dapat merasa “baik-baik saja”. Banyak orang yang membantunya melewati saat-saat sulit, dan dia sangat berterima kasih untuk itu.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang