Bab 8

51 10 0
                                    

"Jadi, lo bentrok sama Abang lo karena dekat sama gue?"

Pertanyaan Avis siang ini membuat Garin mengangguk mengiakan. Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah masing-masing, lalu bertemu di salah satu sudut kampus, seperti selalu. Keduanya tak membicarakan konflik kakak-beradik itu via telepon semalam, karena memang suasana hati Garin sedang buruk. Jadi, Avis memutuskan untuk sekadar menghibur dengan membuat lelucon-lelucon kecil, tanpa menyinggung apa pun tentang inti masalah.

Kini, Garin telah menceritakan keseluruhan cerita, membuat Jacquavis terdiam sejenak. Apa Barra selalu sekolot itu? Apa Garin selalu mengalami perlakuan yang sama tiap dekat dengan seorang laki-laki?

Segala tingkah Barra membuat Avis semakin dilanda penasaran. Masa, sih? Apa yang menyebabkan Barra bertindak berlebihan begitu? Takut jika sang Adik akan terjerumus dalam pergaulan yang salah? Takut jika Garin akan berubah menjadi gadis pembangkang yang jarang pulang? Atau apa?

"Nanti jam tujuh gue perform. Lo datang, ya."

Alih-alih memperpanjang pembahasan, Avis malah meminta Garin untuk menghadiri acaranya. Nanti malam, Maclaus akan tampil, menjadi salah satu pengisi acara di kafe yang cukup terkenal. Bagi Avis, ini kesempatan. Dia akan mencoba mendekati Barra melalui satu izin sederhana.

Garin tak segera menjawab. Tampak jelas bahwa gadis itu sedang dilanda kebingungan. Aduh, bagaimana, ya? Dia bersedia, sungguh. Namun, perihal Barra ...

"Enggak janji, ya, Vis. Semalam gue barusan bentrok, jadi agak takut buat izin ke Bang Barra nanti," jawabnya, akhirnya, memutuskan untuk jujur tanpa perlu menutupi segala kebimbangan batin.

"Gue jemput. Gue yang minta izin ke Abang lo."

Kalimat yang dilontarkan Avis selanjutnya mampu untuk membuat Garin membelalakkan mata, kaget setengah mati.

"Jangan cari mati, deh!" katanya, "Lo enggak tahu Abang gue itu orangnya seperti apa."

"Justru itu. Gue mau ke sana, ketemu Abang lo. Mau kenalan. Biar lo enggak perlu bikin alasan lagi. Semakin lo bohong, Abang lo pasti semakin berpikiran negatif ke gue. Jadi, biar gue yang bilang nanti."

Jawaban Avis terdengar santai. Tenang sekali, rasanya. Seolah tak mampu menilai segala raut waswas yang ditampakkan lawan bicaranya.

Keheningan merayap selama beberapa detik. Garin larut dalam bungkam, memikirkan segala kebenaran dalam ucapan kawannya. Jika dipikir-pikir, Avis betul. Satu-satunya jalan agar Barra berhenti berpikiran melenceng mengenai Jacquavis, adalah mempertemukan mereka berdua. Biar abangnya itu bisa melihat sendiri, betapa kelirunya penggambaran seorang Jacquavis. Namun ... astaga, pasti tak akan semudah itu. Ini Barra yang sedang dibicarakan. Kaluhi Barra. Tak akan mudah mengubah segala keburukan yang berseliweran di otaknya.

"Oh, jadi ini pacar baru lo?"

Suara yang tiba-tiba terdengar sontak membuat Garin dan Avis menoleh, mengalihkan fokus pada sumber yang baru saja menginterupsi obrolan dengan kalimat bernada anyir itu. Seorang gadis tampak berdiri di samping mereka, sedang menatap Garin dengan pandangan kurang suka yang sangat kentara; Cahaya.

Waduh, konflik lagi, nih, batin Garin. Dia memang tak pernah tahu bagaimana rupa dari mantan pacar Jacquavis. Namun, sekali tatap, gadis itu sudah mampu menilai dengan akurat. Terlihat dari gerak-gerik si perempuan asing.

Cepat-cepat dia menoleh ke arah Avis, berkata, "Vis, gue duluan, ya. Gue mau-"

"Eh, enggak perlu canggung begitu. Gue cuma lewat, kok. Kebetulan ada orang pacaran siang bolong begini di kampus," potong Cahaya, tetap menampakkan segala sorot benci yang tak berusaha ditutupi.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang