Bab 17

30 5 0
                                    

Barra terbaring di rumah sakit dengan kondisi tidak sadar. Setelah melihat laki-laki itu tergeletak di pinggir jalan raya dekat taman, Garin segera membawanya ke rumah sakit dengan histeris. Kaki pemuda itu retak, tulang punggungnya memar di beberapa bagian. Kepalanya terbentur aspal dengan keras, untung saja dia tak dinyatakan mengalami gegar otak. Sialnya, sang pengemudi mobil yang menabrak Barra pergi begitu saja, membuat Garin berteriak, mengumpat, dan menangis secara bersamaan ketika melihat kondisi kakaknya.

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Garin bermalam di rumah sakit, menunggu Barra yang belum juga sadar sedari tadi siang di kamar ICU. Sebenarnya, perawat di sana menyuruh Garin untuk pulang, tetapi dia menolak dengan tegas.

“Saya cuma tinggal berdua sama kakak saya, Suster. Saya enggak punya siapa-siapa lagi di rumah. Saya mau tunggu kakak saya di sini sampai dia sadar.”

Dan suster itu mengizinkannya. Jadi, di sana lah dia malam ini; duduk di sebuah bangku kecil di samping ranjang ICU yang ditempati Barra. Dia menatap wajah Barra yang sedang menutup mata, seperti seseorang yang sedang tidur. Dan Barra memang tidur, hanya saja dengan tambahan selang infus dan beberapa perban.

Garin tetap diam memandang wajah kakaknya untuk waktu yang sangat lama. Kamar ICU itu hening, membuatnya semakin larut dalam emosi. Dia menggenggam tangan Barra yang bebas dari selang infus, tak melepaskan barang sedetik pun.

“Harusnya tadi aku enggak suruh Abang beli minum,” gumamnya. Dia mengguncang tangan Barra pelan. “Bang? Bang Barra dengar aku, ‘kan?”

Tak ada jawaban. Garin semakin jatuh dalam suasana hati yang benar-benar buruk. Antara kerinduan yang belum tersampaikan, serta harus melihat seseorang (yang menjadi satu-satunya keluarga untuknya) berbaring diam bukan karena tidur. Dia menangis, benar-benar menangis, bukan hanya sekadar menjatuhkan sebutir-dua butir air mata.

“Harusnya aku tadi enggak suruh abang beli minum,” ulangnya lagi di sela tangisnya. Tangannya tetap menggenggam tangan yang tertua, berharap jemari itu berbalik menggenggamnya.

Satu menit setelahnya, Avis menelepon. Waktu yang tepat!

Garin menghentikan tangis, lalu menjawab panggilan di detik yang ke lima.

“Halo,” sapanya. Suaranya begitu parau, terdengar jelas seperti orang yang baru saja menangis.

“Lo nangis?” tanya Avis.

Garin diam. Tak ada gunanya menyangkal, karena nyatanya memang begitu.

Tadi siang, dia menggeletakkan ponselnya begitu saja di jalan beraspal ketika melihat Barra tergeletak tak sadarkan diri. Dia tak mengakhiri sambungan telepon. Garin benar-benar lupa pada segalanya untuk sesaat. Yang ada di pikirannya hanya Barra, baru saja ditabrak mobil. Dia bahkan lupa bagaimana caranya berhasil membawa abangnya ke rumah sakit, siapa yang menolongnya mengangkat tubuh si Abang, bagaimana bisa ponselnya sudah kembali ke saku celananya. Pikirannya benar-benar kalut. Setelah Barra ditangani oleh dokter, baru dia mengirim pesan pada Avis, menjelaskan keadaannya.

“Jangan nangis. Gue pulang sekarang, ya,” kata Avis, menenangkan.

“Jangan. Lo besok pengumuman, ‘kan?” larang Garin.

“Lo lebih penting. Gue enggak mau jauh dari lo dalam keadaan begini.”

Ujaran yang cukup menyentuh. Bicara dengan Avis memang salah satu hal yang dibutuhkannya saat ini.

“Jangan, Vis. Kalau lo balik sekarang cuma karena gue, gue makin serba salah. Lo gagal kejar impian lo cuma buat gue.” Garin tetap melarang. Sebesar apa pun keinginannya untuk bertemu Avis kembali, tak ada bandingan dengan perasaan yang menyusup ketika pemuda itu mampu membuktikan pada dunia perihal siapa dirinya.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang