Bab 13

44 6 1
                                    

Pukul enam pagi, Garin telah berdandan rapi. Bukan dia yang akan berangkat ke Singapura, tetapi jantungnya berdegup cepat. Dia tak bisa tenang, sibuk dengan dirinya sendiri—saking gugupnya. Bahkan, dia membangunkan Barra pukul setengah enam dan menyuruh kakak satu-satunya itu mandi dengan segera. Seolah pesawat akan meninggalkan Avis jika Barra tak juga mandi di awal hari.

     “Kenapa harus se-pagi ini, sih, Dek?” gerutu Barra, sambil mengucek matanya yang baru saja terbuka.

     “Biar enggak telat. Abang mandinya lama. Sana, buruan! Aku mau bikin sarapan.”

     Dan kini, mereka telah duduk berdua di ruang makan sembari menyantap roti mentega dan telur setengah matang yang dibuat oleh Garin. Sarapan ringkas yang tak tergolong berat. Bisa cepat diselesaikan dalam sekejap.

     “Telurnya keasinan, Dek,” gumam Barra, sambil mengunyah. Namun, yang diajak bicara tampak diam saja. Sebenarnya, gadis itu bahkan tak mendengar ucapan Barra. Dia sedang sibuk mengatur degupan dadanya yang belum juga melambat. Belum mereda, sekalipun telah berusaha dicoba.

     “Dek?”

     Masih, Garin tetap diam. Membuat Barra berhenti mengunyah dan menatap adik perempuannya dengan heran.

     “Garin,” panggilnya lagi, tetapi Garin belum bereaksi. Belum menampakkan jawaban tersirat model apa pun.

     Wah, bengong pagi-pagi, batin Barra, sudah bisa menebak seratus persen alasan dibalik diamnya si bungsu.

     Jadi, pemuda itu memotong roti menjadi potongan yang sangat kecil, kemudian melempar pada Garin, sukses menumbuk kening dengan tepat. Membuat yang dilempar seketika mengerjapkan mata, menatap si tersangka pelemparan dengan sorot terganggu.

     “Apa, sih, Bang!” bentaknya, tak main-main.

     “Pagi-pagi malah bengong! Malu sama roti di depanmu, tuh! Belum dimakan sama sekali.”

     Si gadis tampak cemberut, kemudian memakan roti dan telurnya dengan gerakan cepat. Namun, satu detik berikutnya, dia memuntahkan makanan itu pada telapak tangan, seraya menciptakan ekspresi terganggu—sangat terganggu—karena rasa yang baru saja dikecap oleh lidah.

     Barra tertawa, mengejek, “Asin banget, ‘kan?”

     “Kok, bisa begini, sih? Perasaan tadi aku kasih garamnya sedikit,” gumamnya, tampak tak terima dengan hasil masakan yang jauh dari ekspektasi.

     “Kamu bikinnya sambil bengong karena Avis mau naik pesawat. Jadinya begitu.”

     Garin makin sewot. Dia menyandarkan tubuhnya pada kursi makan, tak menyentuh rotinya lagi. Rasanya benar-benar kehilangan selera, tak enak menyentuh penganan yang harusnya mampu mengenyangkan lambung.

     “Dek, serius,” lanjut Barra. “Dulu perasaan waktu ditinggal Mama sama Papa, kamu enggak sebegininya, deh.”

     Yang diajak bicara tetap diam, tak ada keinginan untuk menjawab barang satu kata pun. Entah, ya, hari ini sepertinya mood-nya sedang buruk untuk memulai suatu obrolan, se-ringan apa pun topik yang diambil.

     “Kamu kayak cewek-cewek patah hati, lho! Sumpah, Rin. Kelakuanmu sekarang mirip banget seperti waktu kamu ditinggal sama gebetanmu yang jelek itu. Siapa namanya? Aku lupa,” goda Barra, seolah tak paham bahwa adiknya sedang tak ingin digoda.

     “Apaan, sih!” bentak Garin, yang cukup untuk membuat si sulung tertawa. Pemuda itu senang sekali menggoda bungsu yang sedang sewot begini.

     “Kamu mending sekarang masuk kamar, terus bercermin. Lihat, deh, tampilan mukamu lagi kayak apa.”

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang