Bab 15

42 4 0
                                    

“Lo enggak salah lihat, ‘kan?”

Avis sama kagetnya dengan Garin begitu dia mendengar cerita bahwa Barra sedang berkencan dengan Cahaya. Sesampainya di rumah, Garin segera mengisahkannya pada Avis, sesudah laki-laki itu selesai dengan kesibukan yang melanda. Barra belum pulang kala itu.

“Enggak. Mata gue masih sehat, kok,” jawab Garin, seratus persen yakin.

“Ya udah, biar aja.”

“Kok, biar aja? Dia, ‘kan, cewek enggak baik, Vis. Bang Barra kalau ketemu sama cewek enggak baik, pasti ikutan enggak baik.” Nada suara Garin benar-benar berbeda. Ada kekhawatiran dan kebencian di sana, yang jarang ditunjukkan pada apa pun dan siapa pun. Baru sekali ini dia mencemaskan pergaulan kakaknya.

“Bukan Bang Barra aja. Kayaknya semua cowok kalau ketemu nakal, ya sikat.”

“Tuh, kan!” Garin semakin khawatir. “Mana dia belum pulang, lagi! Ke mana, coba?”

“Masih jam sebelas, Rin. Cowok biasanya pulang di atas jam dua belas. Abang lo juga sering, ‘kan? Kenapa lo jadi cemas begini, deh? Biasanya lo enggak peduli sekalipun Bang Barra enggak pulang semalaman,” komentar pria di seberang telepon, sedikit geli mendapati kawannya yang mendadak menjadi over protective begini.

“Tapi dia pergi sama Cahaya. Beda,” timpal Garin, yang tak bisa menyembunyikan rasa kurang sukanya barang sedikit pun. Membuat Avis mempertanyakan sesuatu.

“Sebetulnya, lo marah karena takut Bang Barra brengsek-nya kumat, atau gara-gara cemburu sama Cahaya?”

“Kenapa gue harus cemburu?” tanya Garin, sedikit kelabakan. Bukan tersinggung, ya. Hanya karena ... hm... bagaimana, ya?

“Cahaya mantan gue,” jawab Avis singkat, seolah tiga kata itu sudah dapat memberikan keterangan lengkap mengenai pertanyaan barusan; kenapa-gue-harus-cemburu?

“Enggak ada hubungannya sama itu,” ujar si gadis lagi. Bohong! Jujur saja, salah satu alasan yang membuatnya marah ketika menatap kakaknya dengan Cahaya, adalah perasaan cemburunya. Mungkin wajar. Bayangkan saja, memergoki Abangmu mempunyai hubungan khusus dengan seorang cewek yang membencimu, sekaligus pernah dicintai oleh seseorang yang kamu cinta. Bagaimana rasanya?

Satu menit kemudian, terdengar suara pintu terbuka di bawah. Garin menajamkan telinga, kemudian segera sadar bahwa yang dibicarakan tampaknya telah tiba.

“Eh, kayaknya Bang Barra pulang, deh. Nanti gue telepon lo lagi, ya,” pamitnya, sebelum mengakhiri panggilan.

“Oke. Jangan bertengkar lagi.”

Garin tak menggubris. Dia mematikan telepon, lalu segera berlari ke ruang tamu. Dan, benar saja, Barra sedang duduk di sofa, menyandarkan tubuh sembari memegang kepala. Garin menatap dari tangga, memberikan pandangan penuh selidik yang jarang dipertontonkannya.

“Bang Barra!”

Barra menoleh mendengar panggilan Garin. Pemuda itu tampak kacau. Wajahnya memerah, lengkap dengan tatapan mata sayu seperti orang yang sedang kelelahan. Membuat Garin segera menuruni tangga dan menghampiri, bersiap menginterogasi.

“Dari mana?” tanyanya, ketika sudah ada di samping Barra.

“Jalan,” jawab Barra singkat.

“Sama?” tanya Garin lagi. Peran mereka dibalik di sini. Garin yang menjelma menjadi saudara posesif dan getol bertanya-tanya.

“Sama teman,” kembali, pihak laki-laki memberikan jawaban singkat. Kepalanya betul-betul pening. Efek alkohol yang tadi ditenggaknya sudah sepenuhnya menjalar.

Airplane (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang